SOLOPOS.COM - Sarwono, salah satu pegawai Toko Buku Sinar di kios belakang Sriwedari Solo, Senin (13/12/2021). (Solopos.com/Chelin Indra Sushmita)

Solopos.com, SOLO – Puluhan kios buku di kios belakang Sriwedari Solo, Jawa Tengah, tampak sepi. Tampak hanya ada beberapa sepeda motor yang terparkir di depan kios buku tersebut.

Lesunya kios buku mburi (belakang) Sriwedari (Busri) adalah pemandangan yang terlihat selama lima tahun terakhir. Walaupun sampai saat ini tak kurang dari 35 pedagang yang masih bertahan mencari rezeki di sana.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Toko buku Busri merupakan tempat legendaris di Kota Solo. Dari 96 kios yang ada di sana, lebih dari separuhnya digunakan untuk berjualan buku dalam kondisi baru maupun bekas. Sementara sisanya dipakai untuk membuka jasa pengetikan atau rental komputer.

Baca Juga: Dulu Jadi Primadona, Kios Buku Legendaris Mburi Sriwedari Solo Kini Sepi

Kawasan Busri selalu siap melayani dan melengkapi keperluan anak-anak sekolah dari jenjang TK hingga perguruan tinggi dengan beragam buku yang harganya jauh lebih miring dibandingkan toko buku modern. Tetapi, masa kejayaan Busri agaknya mulai memudar.

Jika pada 2006-2012 lalu masih banyak orang mencari buku di setiap tahun ajaran baru, kini jumlahnya menurun drastis. Para pedagang di sana memperkirakan penjualan buku mulai menurun sejak 10 tahun terakhir.

“Sekitar tahun 2006-an, tiap kali tahun ajaran baru pasti ramai banget. Parkiran depan sini penuh, orang-orang pada nyari buku. Kami di sini jadi jujugan karena jual dengan harga lebih murah. Tapi sekarang, beginilah adanya,” kata Sarwono, 51, salah satu pedagang di kios Busri sambil tersenyum saat mengenang masa keemasan, Senin (13/12/2021).

Baca Juga: Gugatan Mental Lagi, Ahli Waris Sriwedari Solo Klaim Menangi Sengketa dengan Skor 16-0

Kondisi tersebut semakin memprihatinkan akibat pandemi Covid-19 yang merebak selama dua tahun ini. Berdasarkan pantauan Espos, tak lebih dari 10 orang yang mampir, kemudian kembali pergi saat buku yang mereka cari tidak ketemu atau tidak cocok harganya.

“Ya paling begitu, ada satu dua orang datang, tanya buku. Kalau enggak cocok ya sudah,” sambung Sarwono. Belakangan ini buku pelajaran anak sekolah tidak banyak dicari. Pembeli biasanya datang untuk mencari buku diktat kuliah, novel, atau Alquran.

“Justru belakangan ini yang selalu laku Alquran sama beberapa buku diktat kuliah. Buku pelajaran sekolah SD-SMA jarang yang cari, mungkin sudah dipenuhi sama sekolahan masing-masing,” sambung Sarwono.

Baca Juga: Sepi Pembeli, Sebagian Pedagang Buku di Belakang Sriwedari Solo Go Online

Pria asal Kebumen, Jawa Tengah, itu sudah bekerja menunggu lapak Toko Buku Sinar di Busri sejak 1996. Dia sudah melewati masa-masa kejayaan penjualan buku yang kini mulai meredup.

Hasil jerih payahnya sebagai karyawan di kios buku milik bosnya itu pun cukup untuk membiayai istri dan tiga anaknya hingga masuk dan lulus ke perguruan tinggi. Walaupun kini penjualan buku semakin lesu, Sarwono tidak pernah putus asa.

“Meskipun sepi, tapi Insyaallah setiap hari tetap ada yang terjual. Ini rezeki, rahasia Ilahi. Sedikit atau banyak alhamdulillah tetap disyukuri,” katanya sambil tersenyum.

Baca Juga: Kuasa Hukum Bersikukuh Lahan Sriwedari Solo Tetap Milik Ahli Waris

Belakangan ini Sarwono dan sejumlah pedagang buku lain di kios Busri mulai merambah perdagangan secara daring. Mereka memanfaatkan situs marketplace seperti Shopee maupun Tokopedia untuk menawarkan dagangan. Akan tetapi, hasilnya pun dirasa belum maksimal.

Salah satu pelopor jual beli buku online adalah Toko Buku Rahma. Zainul, 53, pegawai di Toko Buku Rahma menceritakan awal mula merintis usaha jual beli online sejak 2010 melalui blog dan situs web berbayar.

“Sini pelopor, babat alas jualan buku online. Dulu tahun 2010 awalnya orang masih takut-takut untuk beli online. Tapi semakin ke sini pasarnya semakin terbentuk dan justru cukup laris, walaupun tidak seperti penjualan di tahun 2006 dulu,” tutur dia.

Baca Juga: Kuasa Hukum Bersikukuh Lahan Sriwedari Solo Tetap Milik Ahli Waris

Selain Zainul, belum banyak pedagang lain yang menjajal usaha jual beli buku online. Sebagian pedagang masih menggantungkan nasib dari berjualan di kios yang kini semakin sepi.

Setiap bulan para pedagang membayar retribusi Rp36.000 untuk satu kios kepada Dinas Pariwisata Kota Solo. Toko buku yang dijaga Zainul menempati satu kios, sementara Sarwono empat kios. Walau rutin membayar retribusi, para pedagang merasa kurang diperhatikan oleh Pemerintah Kota Solo apalagi dengan kondisi yang semakin sepi.

“Dari dulu ya begini-begini saja. Tidak banyak perhatian yang diberikan. Tapi justru karena tidak diperhatikan, kami mencoba untuk bangkit sendiri menjalankan usaha ini,” tegas Zainul.

Baca Juga: Gibran Beda Pendapat dengan Rudy Soal Solusi Sengketa Lahan Sriwedari



Diberitakan sebelumnya, Sekretaris Paguyuban Pedagang Buku Belakang Sriwedari, Purwadi, mengatakan, saat ini ada 63 pedagang aktif dari 97 total kios. Separuh darinya berupaya mengikuti perkembangan dengan buka lapak online.

Lainnya, pasrah dengan keadaan. Padahal pusat jualan buku yang bertahan hampir tiga dekade ini sempat jadi primadona karena menjual barang dengan harga miring.

“Apalagi pandemi ini. Mau digenjot bagaimanapun, penjualannya akan seperti ini [sepi]. Yang bisa kami lakukan ya ikut jualan online di marketplace. Kalau nunggu pembelian offline, agak susah,” keluhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya