SOLOPOS.COM - Beberapa produk baju muslim yang dipajang selama pameran Hijab Morfosa di JEC, Jumat (18/9/2015). (Harian Jogja/Kusnul Isti Qomah)

Busana muslim produksi dalam negeri lebih menjanjikan untuk dijual di luar negeri

Harianjogja.com, BANTUL—Pasar luar negeri seperti Singapura dan Malaysia lebih dipilih untuk bisnis jual beli busana muslim karena lebih menjanjikan.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Pameran-pameran busana muslim di Singapura dan Malaysia lebih dilirik lantaran daya beli masyarakat yang lebih tinggi. Berjualan di Singapura dan Malaysia dilakukan oleh Yeni Suryani pemilik Yeni Collection yang berbasis di Jakarta ini. Namun, ia juga tetap memenuhi kebutuhan pasar lokal di Indonesia, misalnya mengikuti pameran busana muslim Hijab Morfosa di Jogja Expo Center, Bantul, 17-20 September 2015.

Yeni mengungkapkan, untung besar menjadi alasan utama. “Saya lebih suka berjualan dalam pameran-pameran di sana [Singapura dan Malaysia]. Di sana satu bulan bisa ada satu hingga dua pameran,”  ujar dia kepada Harian Jogja, Jumat (18/9/2015).

Yeni sudah delapan tahun menggeluti bisnis busana muslim. Inspirasi model baju dia dapatkan dari kehidupan sehari-hari. Ia memperhatikan trend pasar saat ini dan memahami kebutuhan pasar. Jenis pakaian ini dipilih karena sesuai dengan potensi pasar di Singapura dan Malaysia di mana banyak penduduk muslim.

Omzet yang didapat dalam setiap pameran yang diikuti bisa dibilang fantastis. Pameran yang berlangsung di Singapura rata-rata dalam waktu satu bulan sedangkan di Malaysia biasanya satu minggu.

“Saat Lebaran kemarin, selama 15 hari di Singapura, saya dapat Rp150 juta. Kalau di  Malaysia, tujuh hari seharinya bisa dapat Rp3,5 juta. Saat Sabtu dan Minggu bisa dapat Rp4 juta hingga Rp5 juta,”  ujar dia.

Ia mengungkapkan, orang Singapura cenderung royal dan tidak pernah menawar . Berapapun harga, asalkan barangnya bagus, maka akan dibeli. Orang Malaysia memiliki karakter yang serupa, namun karena nilai mata uangnya lebih kecil dibandingkan Singapura, hasilnya tidak sebesar ketika di Singapura.

Produk yang disediakan mula dari jilbab hingga gamis. Harga yang dibanderol untuk jilbab antara Rp350.000 hingga Rp500.000. Sedangkan baju, mulai dari di atas Rp500.000.

Namun, harga tersebut tidak diterapkan di Indonesia karena daya beli masyarakat yang sedang turun. Ketika mengikuti  pameran di Indonesia, harganya bisa  diturunkan hingga setengahnya.

Kualitas

Ilham yang juga pemilik Yani Collention mengungkapkan, pasar  di Singapura dan Malaysia lebih menghargai barang berkualitas dibandingkan barang murah. Untuk itu, agar bisa bersaing dengan produsen lain, kualitas bahan dan proses produksi menjadi nilai plus produknya. Misalnya saja untuk jilbab payet yang dia jual seharga Rp350.000 sampai Rp500.000 di Singapura, ia menjahit setiap butir payetnya sehingga tidak mudah lepas.

“Pernah ada pesaing yang berani memberi harga jauh lebih murah, tapi pengerjaannya ya biasa saja. Baru satu bulan barangnya sudah rusak, akhirnya pelanggan juga kembali lagi ke saya,” ujar dia.

Semua produk yang dipasarkan merupakan buatan tangan. Ia tidak membuat sendiri tetapi bekerjasama dengan beberapa penjahit. Ada standarisasi yang diharapkan dan aturan yang cukup ketat misalnya jangan sampai produk tersebut ditiru. Kualitas hasil kerja penjahit juga menjadi pertimbangan. Jika ada penjahit yang tidak sesuai dengan ketentuan, maka akan digantikan dengan penjahit lainnya.

Bahan yang dipilih yakni kain katun yang adem. Menurutnya, masyarakat Singapura dan Malaysia menyukai pakaian muslim yang adem karena di sana cuacanya cenderung panas. Kesesuaian bahan harus dipertimbangkan sehingga produknya mendapatkan tempat di hati pelanggan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya