SOLOPOS.COM - JIBI/Harian Jogja/Joko Nugroho Eko Wijokongko saat berada di Terminal Condongcatur, Senin (22/4). Beberapa sopir angkudes jurusan Jogja – Kaliurang ini mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah pada angkudes yang beroperasi.

JIBI/Harian Jogja/Joko Nugroho
Eko Wijokongko saat berada di Terminal Condongcatur, Senin (22/4). Beberapa sopir angkudes jurusan Jogja – Kaliurang ini mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah pada angkudes yang beroperasi.

Seiring makin menjamurnya sepeda motor dan mobil pribadi, nasib awak angkutan perdesaan (angkudes) pun semakin terjepit. Minimnya jumlah penumpang dan tiadanya perhatian dari pemerintah, seolah semakin mengubur keberadaan moda angkutan rakyat ini. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Joko Nugroho.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Eko Wijokongko, 76, menatap sinis sebuah bus Transjogja yang masuk ke Terminal Condongcatur, Depok, Sleman. Dia merasa bus yang kini berjaya di Jogja itu semakin memakan lahannya. Banyak orang memilih naik bus ber-AC itu ketimbang angkudes butut yang dioperasikannya.

Sopir angkudes jurusan Jogja – Kaliurang ini awalnya sempat ikut menolak keberadaan bus modern itu. Sebab, lahannya mulai dari Terminal Condongcatur menuju Mirota Kampus dan Ringroad Kentungan jadi berkurang.

“Dulu pelanggan saya yang ramai hanya dari Condongcatur, Mirota Kampus dan Ringroad Kentungan. Namun kini sudah sepi, sebab mulai ada bus yang lebih bagus,” kata Eko saat akan memulai perjalanannya menuju ke Kaliurang di Terminal Condongcatur, Senin (22/4).

Meski menolak, Eko tetap tak bisa berbuat banyak. Dia dan beberapa awak angkudes lain hanya bisa mengamini keberadaan bus berwarna hijau kuning itu beroperasi di jalur yang biasa dia lalui. Dengan segala kelebihannya, bus yang digagas pemerintah itu akhirnya “mengambil” penumpang yang biasanya
menumpang angkudesnya.

Terbersit keinginan Eko untuk mendadani angkudes yang biasa dioperasikan agar penumpang tak lari. Namun apa daya, Eko mengaku tidak memiliki dana untuk bisa merombak mobilnya menjadi jelita lagi.

“Saya berharap dapat subsidi dari pemerintah seperti Transjogja. Kalaupun bukan subsidi, kami juga mau diberi pinjaman dengan bunga rendah,” jelas Eko.

Eko mengaku, selama 31 tahun menjadi sopir angkudes, dia belum pernah sekalipun mendapatkan pinjaman dari pemerintah. Meski demikian, berbagai retribusi tetap harus dia bayarkan kepada pemerintah.

Eko menambahkan, selama ini dia kesulitan mengumpulkan uang untuk memperbaiki kendaraannya. “Kalau sekarang penumpang paling banyak hanya enam orang, terkadang tidak ada penumpang. Sehari rata-rata dapat Rp100.000, untuk beli solar Rp50.000 dan untuk setoran Rp40.000, sisanya untuk modal narik besok,” jelas Eko.

Tanpa ongkos cadangan, dia mengaku tidak akan bisa beroperasi jika penumpang sepi. Namun dengan pegangan Rp10.000 minimal, dia bisa membawa mobilnya mencari penumpang lagi.

“Harapan terbesar kami, pemerintah memberi bantuan dana untuk perbaikan agar mobil kami bisa tampak bagus lagi,” ujar Eko.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya