SOLOPOS.COM - Ilustrasi tenaga kerja di Jateng. Pada 2021, UMP Jateng ditetapkan naik 3,27 persen. (Solopos/Nicolous Irawan)

Solopos.com, JAKARTA — Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) mempertanyakan efektivitas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk memastikan serapan tenaga kerja terjamin di tengah kenaikan investasi.

Sekretaris Jenderal OPSI Timboel Siregar mengatakan kalangan buruh belum melihat realisasi serapan tenaga kerja setelah implementasi undang-undang sapu jagat itu. Padahal, UU Cipta Kerja diharapkan dapat meningkatkan investasi sembari memperluas kesempatan lapangan kerja di dalam negeri.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Sampai saat ini belum terealisasi karena kita dihadapi Covid-19 itu yang menjadi alasan pemerintah, memang ini harus diuji lagi saat pandemi mulai menurun,” kata Timboel melalui sambungan telepon, Kamis (25/11/2021) seperti dilansir Bisnis.com.

Timboel meminta pemerintah untuk konsisten menjalan seluruh ketentuan yang ada di dalam UU Cipta Kerja. Timboel mengatkaan UU Cipta Kerja itu sudah memberi komitmen untuk mempermudah investasi di dalam negeri untuk mengoptimalkan serapan kerja.

“Kalau gagal juga untuk membuka lapangan kerja, angkatan kerja tetap defisit berarti undang-undangnya ada tetapi pemerintah tidak menjalankan undang-undang, ini yang harus dievaluasi,” kata dia.

Baca Juga: Catat, Ini Tips Cari Cuan di Medsos Ala Emil Dardak dan Arumi Bachsin

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menerangkan terjadi penyusutan serapan tenaga kerja hingga 70 persen setiap tahunnya di tengah tren kenaikan investasi selama enam tahun terakhir.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan kenaikan investasi itu bersifat padat modal dan mengarah pada digitalisasi industri padat karya.

“Investasi naik dua kali lipat tapi jumlah penyerapannya menyusut 70 persen, dengan demikian Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia tidak efisien, banyak investasi yang masuk itu hanya dinikmati oleh sedikit orang,” kata Hariyadi saat menggelar konferensi pers, Jakarta, Kamis.

Menurut dia, investasi saat ini dihadapkan pada biaya investasi yang tinggi hingga lemahnya daya saing Indonesia terkait dengan penyerapan modal yang masuk. Hal itu bisa dilihat dari tingginya ICOR dalam negeri. ICOR menjadi salah satu parameter untuk menunjukkan tingkat efisien investasi di suatu negara.

Baca Juga: Serapan Naker Anjlok, Pakar: Investor Hindari Kerumitan Pasar Naker

“Pada era 2015 hingga 2019, rerata ICOR Indonesia tercatat sebesar 6,5 persen atau lebih besar dari periode sebelumnya yang berada di kisaran 4,3 persen,” kata Hariyadi saat menggelar konferensi pers, Jakarta, Kamis (25/11/2021).

Dia menambahkan ICOR Indonesia pada tahun 2019 berada di posisi 6,77 persen atau naik dari capaian 2018 sebesar 6,44 persen. ICOR itu relatif tinggi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam yang mendekati kisaran angka ideal sebesar 3.

Selain itu, dia mengatakan, kondisi ketenagakerjaan Indonesia belum menunjukkan tren perbaikan. Menurut dia, penciptaan lapangan kerja relatif berat di tengah pandemi Covid-19. Misalkan tahun 2013, setiap Rp1 triliun investasi dapat menyerap mencapai 4.594 tenaga kerja. Akan tetapi, investasi setiap Rp1 triliun pada tahun 2019 hanya menyerap 1.438 orang.

“Dikarenakan investasi lebih bersifat padat modal dan penggunaan teknologi yang menggantikan tenaga kerja di sektor manufaktur,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya