SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sukoharjo (Espos)--Forum Peduli Buruh mengaku resah lantaran semakin banyak perusahaan di Sukoharjo yang menerapkan  sistem buruh kontrak atau outsourching.

Keresahaan itu diutarakan Forum Peduli Buruh saat audiensi dengan Komisi IV DPRD Sukoharjo di gedung dewan, Jumat (12/11). Forum yang terdiri atas gabungan dari beberapa lembaga buruh, yakni Serikat Pekerja Nasional (SPN) Sukoharjo, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Sukoharjo, Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit (SPTSK), dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) itu mendesak agar DPRD Sukoharjo bisa membela hak-hak kaum buruh.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

“Sistem kerja kontrak justru menjadi tren di Sukoharjo saat ini. Bahkan, bagi perusahaan-perusahaan yang produksinya bersifat continue atau terus-menerus juga menerapkan outsourching,”  tegas Wakil Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan SPN Sukoharjo, Sigit Hastono kepada wartawan seusai audiensi.

Dia menambahkan, bersadarkan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, sistem outsourching hanya bisa diterapkan pada perusahaan yang temporary, seperti buruh tebang tebu, buruh bangunan, dan buruh pertambangan. Maka bagi perusahaan berproduksi tetap, tidak bisa menerapkan sistem yang dianggap memarjinalkan buruh itu.

“Justru, sekarang kalau kita lihat hampir semua perusahaan di Sukoharjo menerapkan outsourching padahal jelas-jelas melanggar undang-undang,” imbuh Sigit.

Ketua SBSI Sukoharjo, Slamet Riyadi menambahkan, ironisnya sejumlah perusahaan berusaha menyiasati aturan outsorching. Dia menjelaskan, kerja kontrak yang seharusnya hanya berlaku dua kali kontrak, untuk selanjutnya dijadikan buruh tetap tidak dilaksanakan. Perusahaan, malah memutus kontrak pekerja untuk sementara waktu, selanjutnya mereka kontrak kembali setelah ada jeda.

“Jadi ada akal-akalan, setelah dua kali kontrak lalu <I>break<I> (istirahat) dulu baru kemudian beberapa waktu kemudian dipanggil lagi untuk dikontrak. Padahal orangnya atau pekerjanya juga sama, lantas kapan jadi karyawan tetapnya kalau begini?” ketus Slamet.

Terkait hal itu, kaum buruh semakin resah karena wacana revisi UU no 13/2003 mulai muncul kepermukaan. Padahal, wacana itu muncul agar dilegalkannya buruh kontrak di segala bidang industri dan manufacture.

Selain itu, wacana  revisi UU perburuhan itu juga memberatkan buruh karena perhitungan pesangon akan ditekan, upah minimum kabupaten (UMK) akan sebelumnya setahun sekali menjadi dua kali setahun, dan mogok kerja dianggap sebagai pelanggaran dan kegiatan ilegal dengan ancaman PHK tanpa syarat.

Selain itu, Forum Peduli Buruh di Sukoharjo meminta agar pemerintah mengkaji ulang dan mencabut Permen No 17/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Pencapaian Kebutuhan Layak Hidup yang selama ini dianggap tidak relevan lagi untuk dijadikan patokan penentuan UMK untuk tahun berikutnya.

Dalam audiensi tersebut, Ketua Komisi IV, Sudarsono berjanji untuk meneruskan aspirasi buruh di Sukoharjo ke pemerintahan pusat sekaligus DPR RI. Dia juga meminta dengan tegas, agar pengawasan terhadap perusahaan “nakal” dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) diperketat.

hkt

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya