SOLOPOS.COM - Kepala BPS Wonogiri, Rahmad Iswanto. (Istimewa)

Solopos.com, WONOGIRI — Badan Pusat Statistik (BPS) Wonogiri menyatakan metode pengumpulan data untuk mengukur tingkat kemiskinan di Wonogiri dilakukan secara ilmiah dan sudah sesuai fakta. BPS Wonogiri sama sekali tidak setuju metode tersebut dinilai menghasilkan data yang tidak valid.

Kepala BPS Wonogiri, Rahmad Iswanto, saat berbincang dengan Solopos.com di kantornya, Senin (20/3/2023), mengatakan metode pengumpulan data yang dilakukan BPS untuk mengukur tingkat kemiskinan menggunakan survei sampel acak.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Metode tersebut sudah teruji dan digunakan secara global. Margin of error atau batas kesalahan metode itu tidak lebih dari 2,5%. Metode ini tidak hanya digunakan BPS Wonogiri, tapi juga BPS di seluruh wilayah Indonesia.

“Sasaran survei untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah penduduk, dalam hal ini berarti penduduk Wonogiri,” kata Rahmad. Rahmad menjelaskan penduduk merupakan orang yang bertempat tinggal minimal selama satu tahun atau berniat tinggal lebih dari satu tahun di suatu wilayah tertentu.

Penduduk Wonogiri yang masuk survei data kemiskinan orang yang bertempat tinggal minimal selama satu tahun atau berniat tinggal lebih dari satu tahun di Wonogiri. “Penduduk Wonogiri tidak selalu merupakan warga Wonogiri,” ucap dia.

Individu yang secara administratif masih terdaftar sebagai warga daerah lain, misalnya alamat dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Klaten atau daerah lain, namun individu tersebut berdomisili di Wonogiri selama minimal setahun atau baru tinggal di Wonogiri selama tiga bulan tetapi berniat tinggal lebih dari setahun di Wonogiri, individu itu merupakan penduduk Wonogiri.

Begitu juga sebaliknya, meski individu itu secara administrasi tercatat sebagai warga Wonogiri namun tidak berdomisili di Wonogiri, ia tidak tercatat sebagai penduduk Wonogiri, melainkan penduduk daerah lain.

Rahmad menyebut perantau yang diklaim Bupati Joko Sutopo sebanyak 38% dari total jumlah penduduk Wonogiri tersebut secara otomatis tidak menjadi sasaran survei data kemiskinan. Kendati demikian, tidak berarti kontribusi mereka secara ekonomi terhadap Wonogiri tidak terekam atau tercatat dalam survei.

“Orang Wonogiri yang merantau, kemudian pulang dalam setahun hanya sepekan, mereka tidak terhitung sebagai penduduk Wonogiri,” ujar Rahmad.

Pengeluaran untuk Kebutuhan Dasar

Sebagai catatan, tingkat kemiskinan diukur dari pengeluaran individu untuk memenuhi kebutuhan dasar baik kebutuhan makanan maupun nonmakanan. Berdasarkan BPS Wonogiri, garis kemiskinan pada 2022 tercatat senilai Rp376.763/orang/bulan atau Rp12.558/orang/hari.

Pengeluaran bulanan atau harian di bawah garis kemiskinan itu disebut miskin. Dari pendataan BPS pada 2022 yang tertuang dalam Kabupaten Wonogiri Dalam Angka 2023, ada 10,99% atau 105,190 orang di Wonogiri yang pengeluarannya kurang dari Rp12.558/hari.

Menurut Rahmad, BPS Wonogiri menggunakan data pengeluaran sebagai acuan pengukuran garis kemiskinan karena berdasarkan penelitian hal itu dinilai lebih mendekati valid dibandingkan jika menggunakan pemasukan atau income. Responden survei lebih jujur mengungkapkan pengeluaran daripada pemasukan.

Menyoal responden Wonogiri yang dianggap kerap memberikan keterangan tidak jujur dengan cara downgrade atau menurunkan angka pengeluaran saat disurvei, Rahmad menyebut hal itu sebenarnya terjadi secara nasional, tidak hanya di Wonogiri.

Tetapi tidak berarti petugas survei tidak memiliki kemampuan untuk menggali data responden agar memberikan keterangan secara jujur saat pengumpulan data kemiskinan di Wonogiri. “Petugas sudah diberikan pelatihan terkait hal itu,” kata dia.

Yang harus diingat, lanjut dia, pengukuran garis kemiskinan ini adalah kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan (2.100 kalori/orang/hari) dan bukan makan (sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan).

Dengan demikian, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan penduduk dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Ada tiga macam untuk mengukur ketentuan pengeluaran individu dalam pendataan kemiskinan termasuk di Wonogiri, yaitu yang dibeli, diberikan, atau diproduksi sendiri. Ketiga macam itu masuk dan tercatat sebagai pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar.

“Contoh sederhananya, saya makan bakso tapi yang bayar bakso yang saya makan itu kamu, maka itu dihitung pengeluarannya saya,” jelasnya.

Dengan metode itu semua cara individu untuk memenuhi kebutuhan dasar akan tercatat atau terhitung sebagai pengeluaran individu tersebut, baik dengan cara membeli sendiri, diberikan, atau produksi sendiri.

Sesuai Fakta

Apabila metode ini dianggap tidak tepat dan tidak sesuai digunakan di Wonogiri dengan alasan banyak penduduk yang memiliki ketahanan pangan mandiri, maka hal itu keliru. “Pada kenyataannya, memang masih banyak penduduk Wonogiri yang hidup di bawah garis kemiskinan,” kata Rahmad.

Metode tersebut tidak bisa diubah secara sembarangan apalagi karena intervensi kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu. “Data itu tidak mengada-ada. Itu sesuai fakta di lapangan,” tegas dia.

Sebelumnya, Bupati Wonogiri Joko Sutopo yang akrab disapa Jekek menilai metode pengumpulan data tingkat kemiskinan oleh BPS Wonogiri dilakukan dengan cara survei sampel acak itu kurang valid.

Sebab mereka yang disurvei hanya warga Wonogiri yang berdomisili di Wonogiri. Sementara, 38% perantau Wonogiri yang memiliki aktivitas ekonomi di luar Wonogiri tidak tercatat.

“Kalau begitu, ada 38% data yang lose [hilang)]. Mereka yang memiliki aktivitas ekonomi di perantauan tidak terekam [dalam survei BPS]. Ini tidak fair,” kata Jekek saat ditemui Solopos.com di Pendapa Rumah Dinas Bupati Wonogiri baru-baru ini.



Jekek juga menyebut ukuran garis kemiskinan BPS tidak bisa digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan di desa-desa di Wonogiri. Hal itu karena mayoritas warga di desa-desa Wonogiri bekerja sebagai petani dan peternak.

Mereka memiliki ketahanan pangan secara mandiri sehingga pengeluaran mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar tidak bisa diukur dari seberapa uang yang mereka keluarkan. Dia menjelaskan banyak warga yang makan dari hasil menanam atau beternak sendiri.

Mereka memiliki beras, jagung, atau tanaman lain yang bisa dimakan sendiri tanpa perlu membeli. Begitu juga dengan lauk lauknya, mereka punya ternak ayam, kambing atau sapi, dan menanam sayur di pekarangan rumah.

“Melihat pengeluaran tidak bisa satu sisi, kalau indikator itu dipakai di kampung-kampung, ya enggak kecekel. Kecuali kalau memang sama sekali tidak punya pekerjaan, nyatanya mereka kan jari petani dan peternak. Kalau hitungannya pengeluaran Rp300.000 sekian itu, ya susah,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya