SOLOPOS.COM - Ilustrasi harimau (Antara)

Solopos.com, ACEH BESAR — Seorang peternak kambing di Kabupaten Aceh Timur, Aceh bernama Syahril menjadi tersangka karena meracuni seekor harimau yang menerkam tiga ekor kambingnya.

Anggota DPR Aceh, Sulaiman berharap kasus Syahril ini diselesaikan secara damai alias menempuh jalur keadilan restoratif (restorative justice).

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Ia berpendapat, alasan Syahril membunuh harimau karena ingin melindungi ternaknya dan bukan memburu satwa dilindungi tersebut.

“Saya berharap kepada penegak hukum (kepolisian) dapat menyelesaikan kasus itu secara damai atau restorative justice yaitu perkara tidak dilanjutkan lagi,” kata Anggota DPR Aceh Sulaiman, di Banda Aceh, Senin.

Sebelumnya diberitakan, bangkai harimau sumatra dengan perkiraan usia 1,5 hingga dua tahun ditemukan mati tak jauh dari kandang kambing milik Syahril di Gampong Peunaron Lama, Peunaron, Aceh Timur, Rabu (22/2/2023).

Tidak jauh dari bangkai harimau, petugas keamanan dari TNI/Polri menemukan karung berisi racun.

Namun sebelum ditemukan bangkai harimau, warga juga menemukan tiga ekor kambing milik Syahril mati di kandang dan di luar kandang.

Diduga ketiga kambing tersebut mati setelah dimangsa harimau.

Terhadap kasus itu, Polres Aceh Timur telah menangkap Syahril yang menaburkan racun di dekat rumahnya yang berada di pedalaman kabupaten setempat.

Sulaiman berpendapat sangat tidak adil rasanya jika pemilik kambing disalahkan secara sepihak, karena pada dasarnya dia juga dilindungi oleh negara.

“Negara tidak hanya melindungi harimau tetapi negara juga melindungi setiap hak warga negara,” ujarnya seperti dikutip Solopos.com dari Antara.

Menurut Sulaiman, terhadap apa yang dilakukan oleh pemilik kambing tersebut bukan sebuah kejahatan yang luar biasa.

Artinya yang bersangkutan tidak memburu harimau untuk diperdagangkan kulitnya. Tetapi dia hanya menunjukkan reaksi karena harimau itu telah menerkam kambing miliknya.

Ia menegaskan jika perbuatan Syahril itu harus dihukum karena melanggar aturan, semua pihak juga harus sadar bahwa melindungi hak hidup dia juga merupakan aturan negara, dan sangat jelas termaktub dalam UUD 1945.

Sulaiman menilai konflik satwa dengan manusia terus terjadi dikarenakan lengahnya pemangku kebijakan dalam menyiapkan langkah-langkah konkret dalam pengelolaan satwa liar saat ini.

“Karena itu, apa yang terjadi di Aceh Timur ini saya berharap Kapolda Aceh dapat membuka mata hatinya untuk menyelesaikannya secara damai atau restorative justice,” katanya.

Hal senada juga disampaikan Kadiv Advokasi WALHI Aceh, Afifuddin meminta kepolisian Aceh Timur untuk menyelesaikan kasus kematian harimau yang melibatkan seorang peternak kambing itu secara non yuridis atau restorative justice (perdamaian).

“Terkait proses hukum terhadap peternak (Syahril) yang kambingnya dimangsa harimau perlu diselesaikan secara non-yuridis, bisa melalui restorative justice,” kata Afifuddin.

Menurut Afifuddin, hukum seharusnya tidak hanya dipandang dari aspek yuridis formal, melainkan juga ada pertimbangan pada aspek non-yuridis.

“Karena terjadi sesuatu, pasti ada sebab dan akibat. Sebab sering ternak dimangsa harimau, tentu menimbulkan reaksi, itu juga akibat lemahnya penanganan konflik satwa yang terjadi saat ini,” kata Afifuddin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya