SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, JAKARTA – Jelang pertemuan sejumlah kepala negara, Facebook Inc akan memperketat fitur siaran langsung untuk mengekang persebaran konten kekerasan daring setelah aksi terorisme di Christchurch, Maret lalu.

Aksi teror di Christchurch pada 15 Maret 2019 merupakan salah satu penembakan massal paling brutal dalam sejarah Selandia Baru modern. Saat itu, seorang pria asal Australia melakukan aksi penembakan yang menewaskan 51 orang di dua masjid di kota Christchurch sembari menyiarkannya secara langsung melalui Facebook.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Siaran berbau ekstremisme tersebut tak berhenti di Facebook. Dalam waktu beberapa jam, jutaan salinan video serupa beredar di berbagai platform media. Persebaran konten tersebut mendorong munculnya seruan bagi perusahaan teknologi untuk lebih berusaha memerangi ekstremisme pada layanan mereka.

Dalam pernyataan resmi yang dikutip Reuters pada Rabu (15/5/2019), Facebook memperkenalkan kebijakan “satu serangan” untuk penggunaan Facebook Live. Lewat kebijakan ini, akses bagi orang-orang yang dilaporkan melanggar peraturan Facebook paling serius akan dibatasi.

Facebook menyebutkan pelanggar ini tidak akan diperkenankan menggunakan Facebook Live untuk kurun waktu tertentu. Mereka juga akan memperluas cakupan pelanggaran untuk implementasi kebijakan “satu serangan”.

Facebook tidak menjelaskan pelanggaran jenis apa yang mengakibatkan seorang pengguna mendapat hukuman tersebut. Perusahaan besutan Mark Zuckerberg ini juga tak memperinci berapa lama penangguhan akan berlangsung. Kendati demikian, seorang juru bicara Facebook menyatakan pelanggar tidak akan mungkin menggunakan fitur Facebook Live berdasarkan aturan baru.

Dalam 24 jam sejak aksi teror Christchurch terjadi, Facebook mengatakan pihaknya secara global telah menghapus 1,5 juta video berisi cuplikan serangan. Facebook juga mengaku telah mengidentifikasi lebih dari 900 versi video yang berbeda akhir Maret lalu.

Pengumuman kebijakan ini muncul ketika Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern memimpin pertemuan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris pada Rabu ini. Pertemuan tersebut bertujuan untuk membuat para pemimpin dunia dan kepala perusahaan teknologi menandatangani “Christchurch Call”, sebuah komitmen untuk menghilangkan konten ekstremis daring.

Dalam sebuah opini di The New York Times pada Sabtu pekan lalu, Ardern mengatakan “Christchurch Call” akan menjadi kerangka kerja sukarela bagi penandatangan untuk menerapkan langkah-langkah khusus guna mencegah pengunggahan konten esktremisme dan terorisme.

Ardern tidak menyebutkan tuntutan khusus bagi perusahaan media sosial sehubungan dengan perjanjian itu. Tetapi Ardern telah mendesak mereka “mencegah penggunaan siaran langsung sebagai alat untuk menyiarkan serangan teroris.”

Perwakilan dari Facebook, Alphabet Inc Google, Twitter Inc dan perusahaan teknologi lainnya diperkirakan akan ambil bagian dalam pertemuan tersebut, namun CEO Facebook Mark Zuckerberg tidak akan hadir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya