SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Lukisan bunga alamanda di atas kanvas itu nampak sempurna. Jika lukisan itu terpajang tanpa orang tahu proses pembuatannya, tak ada yang bakal mengira, karya itu hasil usapan kuas yang dicengkeram dengan jari kaki.

Gambar alamanda itu terpampang di pedestrian Nol Kilometer Jogja, akhir pekan lalu. Dibuat oleh Salim Haramah, satu dari sembilan pelukis Indonesia yang tergabung dalam AMFPA (Association of Mouth and Foot Painting Artist).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

AMFPA adalah asosiasi pelukis yang tak menggunakan tangan untuk melukis. Para senimannya,  menggunakan mulut atau kakinya untuk melukis. Asosiasi yang mewadahi para tuna daksa untuk berkarya seni itu, bermarkas di Schaan, Liechtenstein, Jerman.

Lukisan-lukisan para pelukis AMFPA itu rencananya akan direproduksi dalam bentuk kartu ucapan, kalender, kertas kado, pembatas buku, dan lain-lain. Dari hasil penjualan produk-produk itu, pelukis mendapatkan honor.

Saat ditemui Harian Jogja, Salim si pembuat lukisan bunga alamanda, mengatakan melukis sudah menjadi pekerjaan dan pemuas hasrat berekspresinya. Kini, kaki sudah berubah menjadi tangannya. Keterbatasan yang dimilikinya tak jadi penghalang baginya terus melukis.

“Walau ada batasan-batasan, kita harus tetap bekerja,” demikian kata Salim di sela melukis dengan sejumlah seniman di titik Nol Kilometer Jogja, Minggu (3/7) lalu.

Kakinya begitu lincah menggoreskan kuas di atas kanvas. Pelan namun pasti keindahan lukisan terlihat.

Salim bukan seorang tuna daksa sejak lahir. Kedua tangannya terputus akibat tertabrak kereta api pada dekade 1970-an,  saat usianya baru 11 tahun.

Profesi sebagai pelukis baru dijalani Salim sejak 2005. Sebelumnya, Salim bekerja di lembaga sosial. Dalam keterbatasan fisik, dia sempat menjabat sebagai manajer di lembaga itu.

Lalu seorang mahasiswa ISI Jogja mengenalkannya pada seni lukis dan membimbingnya melukis. Sejak kenal seni rupa ini, Salim menemukan ruang berekspresi.

Dengan profesi yang dijalaninya saat ini, bapak dua anak ini justru merasa menjadi diri sendiri. “Menjadi pelukis, saya bisa menjadi diri sendiri,” kata pelukis yang tinggal di Pogung Lor, RT 11 RW 48 No. 239 A, Sinduadi, Mlati, Sleman.

Dengan profesinya sebagai pelukis, Salim bisa menghidupi keluarganya. Anak sulungnya kini telah memasuki jenjang kuliah,  anak keduanya masih duduk di kelas 2 SMP.

Kerapkali, Salim mendapat undangan melukis di berbagai kota. Dia sering meminta anaknya menemani. Saat melukis di Nol Kilometer lalu, ia juga mengajak putri sulungnya, Dyah Ayu.

“Setiap kali Bapak diundang di acara-acara penting atau di luar kota, saya yang membantunya membawa dan menyiapkan peralatan lukisnya,” tutur Dyah Ayu yang baru saja masuk kuliah di  Pendidikan Akuntansi Universitas Negeri Yogyakarta jurusan pendidikan Akuntansi.(Wartawan Harian Jogja/Apriliana Susanti)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya