SOLOPOS.COM - ilustrasi

ilustrasi

 

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

JOGJA–Sebagian besar Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang ada di DIY masih minim kontribusinya pada  pendapatan asli daerah (PAD). Padahal suntikan dana lewat anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) terus diberikan.

Di Pemerintah Daerah DIY misalnya ada Perusahaan Daerah (PD) Taru Martani, PT. Anindya Mitra Internsional (AMI), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP) serta Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang diharapkan menyetor PAD. Dari empat BUMD, dua di antaranya kini dilanda krisis finansial. Kondisi paling parah terjadi pada PT. AMI yang beralamat di kompleks Jogja Expo Center (JEC) Jalan Janti.

Sejak berubah status dari PD menjadi PT pada 2005, krisis keuangan tak berhenti merundung perusahaan. Pada 2010 dan 2011 perusahaan merugi Rp1,6 miliar dan Rp2 miliar.

Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan APBD DIY menyebutkan, dalam rentang 2008-2011 perusahaan ini hanya sekali menyumbang PAD senilai Rp123 juta. Padahal total penyertaan modal dari APBD yang telah digelontorkan ke perusahaan dari 2004 (awal perubahan status menjadi PT), hingga saat ini mencapai Rp15,6 miliar.

Bahkan lebih parah lagi, perusahaan ini justru tersandung perkara hukum. Bermula dari penyertaan modal senilai Rp6,3 miliar pada 2005. Bukannya memperkuat korporasi, justru pada 2006 PT. AMI merugi miliaran rupiah sehingga penyertaan anggaran dipandang tak tepat sasaran. Pertanggungjawaban perusahaan itulah yang sempat ditagih aparat hukum.

Kondisi tak jauh beda juga dialami PD Taru Martani. Produsen cerutu yang berdiri sejak 1918. Dibanding AMI, PD Taru Martani cukup produktif kendati kini berjalan terseok-seok. Krisis keuangan mulai terjadi beberapa tahun terakhir lantaran banyak karyawan yang memasuki pensiun hingga butuh uang pesangon. Perusahaan kini menanggung utang di bank mencapai Rp7 miliar lebih dengan bunga utang per bulan Rp70-an juta.

Direktur PD Taru Martani menyatakan perusahaan saat ini hanya mampu membukukan laba Rp25 juta. Catatan di LHP BPK menyebut, pada 2008, 2010 dan 2011 perusahaan alpa menyumbang PAD, hanya pada 2009 senilai Rp1,4 miliar. Adapun total penyertaan modal untuk perusahaan mencapai Rp3,4 miliar dari kurun 1990-an hingga 2011.

BUMD berkinerja baik justru ditunjukan BUKP. Lembaga ini sedianya tak ditarget lantaran tujuanya untuk misi sosial yakni menggelontorkan dana bergulir ke masyarakat untuk usaha mikro. Justru lembaga ini rutin setiap tahun menyumbang PAD. Terakhir pada 2011 dengan sumbangan hingga Rp2,8 miliar. Sedangkan BPD memberi sumbangan terakhir 2011 mencapai hingga Rp25,6 miliar. BPD tiap tahun kerap memenuhi target PAD.

Komisaris PT. AMI Mudrajat Kuncoro membantah, BUMD hanya membebani APBD. Kinerja BUMD tak hanya dilihat dari sumbangan PAD namun banyak faktor lainnya. “Misalnya sumbangan Pajak Penghasilan (PPh), belum PBB,” terang Mudrajat.

BUMD menurutnya juga punya misi sosial dalam berbisnis. Misalnya menghidupi ratusan karyawan serta UMKM.
“Misalnya sewa kios di Mal untuk UMKM, tentu kami pasang rate yang rendah untuk UMKM tidak seperti tenant besar lainya. Karena kami ingin perekonomian lokal berkembang. Hal-hal seperti itu apakah juga menjadi pertimbangan saat menilai BUMD,” terangnya.

Mudrajad juga memastikan, krisis finansial yang melanda perusahaan saat ini bukan penyelewengan manajemen. “Banyak faktor seperti yang saya sebut di atas, jadi kami tidak mengemplang APBD,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya