Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (3/7/2019). Esai ini karya Retno Winarni, guru Bahasa Indonesia di SMAN Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Alamat e-mail penulis adalah retnowinarnisugiarto@gmail.com.
Solopos.com, SOLO — Pengidolaan adalah salah satu karakteristik remaja. Pengidolaan dikaitkan dengan perilaku remaja dalam memenuhi salah satu tugas perkembangan memenuhi identitas diri. Dengan mengidolakan seseorang akan terjadi proses ”pemodelan” dalam perilaku sehari-hari.
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
Mengidolakan seseorang menjadi bagian usaha mendapat model pembentukan identitas diri pada fase usia remaja. Yuniardi dalam Laporan Penelitian Identitas Diri Para Slankers (2010) menyebut remaja mencari sosok yang dapat dicontoh baik dari karakter, sifat, hingga cara berperilaku sehari-hari.
Idola bisa datang dari buku dan lain sebagainya. Idola menjadi sumber referensi yang menyediakan sumber identifikasi bagi para penggemarnya. Saya memiliki pengalaman tentang siswa yang mengidolakan penulis buku.
Saat pelajaran menulis resensi saya meminta siswa membaca buku yang mereka suk dilanjutkan menulis resensi buku yang telah mereka baca tersebut. Untuk menghindari salin tempel dan plagiatt, karya resensi dari Internet saya mewajibkan siswa mendaftarkan buku yang akan mereka resensi.
Ini bertujuan menjaga proses membaca. Saya ingin siswa benar-benar membaca buku yang akan mereka resensi. Saya menemukan seorang siswa yang membaca buku Bepe 20: Pride karya pesepak bola Bambang Pamungkas. Siswa itu bernama Batis. Dia adalah atlet sepak bola.
Ia telah berlatih sepak bola sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia tergabung dalam klub sepak bola dan rutin mengikuti pertandingan. Saya terkejut dengan pilihan buku Batis. Buku setebal 500 halaman lebih itu tidak mudah dibaca hingga selesai oleh siswa yang tidak terbiasa membaca.
Bambang Pamungkas
Harga buku itu juga tidak bisa dikatakan murah. Saya tahu buku tersebut belum ada di daftar buku yang tersimpan di perpustakaan sekolah. Pilihan pada buku Bepe 20: Pride bagi Batis yang pesepak bola tentu sangat mudah dipahami. Bambang Pamungkas adalah sosok yang sangat layak untuk dijadikan panutan.
Atlet yang telah pensiun dari tim nasional sepak bola Indonesia sejak 1 April 2013 tersebut menjadi pemegang rekor penampilan terbanyak dan pencetak gol terbanyak untuk Indonesia dengan 77 penampilan dan 36 gol sesuai dengan pertandingan kategori A FIFA.
Di luar kemampuan bermain sepak bola yang tak perlu diragukan lagi, Bambang Pamungkas juga terkenal sebagai atlet yang cerdas. Kecerdasan tersebut bisa dilihat dari kemampuan menulis buku. Buku Bepe pertama berjudul Bepe 20: Ketika Jemariku Menari (2011) dan buku kedua Bepe20: Pride (2014).
Batis suka membaca buku Bambang Pamungkas karena sangat dekat dengan kehidupannya. Ia mengaku mendapatkan banyak pelajaran dari kisah hidup dan perjuangan Bambang Pamungkas. Yang paling penting ia termotivasi menjadi pesepa bola profesional. Saat ini Batis telah lulus dari SMAN Kerjo, Karanganyar, dan berhasil mewujudkan cita-cita menjadi pesepak bola profesional.
Realisme Sosialis
Kurun waktu dua tahun ini saya menemukan buku-buku Fiersa Besari di sudut-sudut baca kelas. Awalnya saya tidak terlalu tertarik untuk membaca. Ketertarikan saya terpicu saat sedang mendampingi siswa mengikuti Festival Ayo Membaca Solopos Tahun 2018.
Lomba dilaksanakan sejak pagi hingga malam. Ada waktu luang yang cukup panjang saat menunggu pengumuman hasil lomba pada malam hari. Saat itu saya sangat berbesar hati karena siswa-siswa saya yang mengikuti lomba memilih berkunjung ke sebuah toko buku di pusat perbelanjaan tempat lomba diselenggarakan.
Mereka membeli buku lalu membacanya. Buku apa yang mereka beli? Buku karya Fiersa Besari. Saya kemudian ikut membeli buku Fiersa Besari berjudul Konspirasi Alam Semesta. Tujuan utama membeli buku itu adalah saya ingin mengetahui daya tarik buku tersebut yang membuat banyak siswa saya membacanya.
Fiersa Besari adalah penulis muda yang bukunya selalu laris. Ia telah melahirkan lima buku yaitu Garis Waktu, Catatan Juang, Arah Langkah, Konspirasi Alam Semesta, dan 11:11. Fiersa disukai karena membuat pembaca menyadari bahasa Indonesia yang baik dan benar masih punya kekuatan untuk diterima generasi milenial dan generasi Z.
Lelaki yang akrab disapa Bung ini tidak mengikuti tren menulis dengan bahasa percakapan ala orang Jakarta maupun mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Setelah membaca Konspirasi Alam Semesta saya melanjutkan membaca buku-buku Bung yang lain.
Pada awal membaca sebenarnya ada praduga saya akan membaca buku khas pengarang muda yang akan membahas cinta remaja yang remeh. Ternyata saya salah. Tulisan Bung cukup berisi dan punya banyak nilai kehidupan yang bisa dipetik.
Bung mampu menghadirkan nasionalisme dalam buku Arah Langkah yang merupakan catatan perjalanan menjelajah Indonesia. Dalam buku Konspirasi Alam Semesta dan 11:11 ia menggabungkan cerita- cerita romantis dan petualangan dengan musik dalam format album buku (albuk).
Determinasi dan Konsistensi
Pilihan mengemas cerita bersama dengan musik jenis folk menurut saya adalah pilihan cerdik. Fiersa menjaring pembaca buku untuk mencintai musik dan mengajak penikmat musik untuk membaca buku. Di Konspirasi Alam Semesta Bung membentuk karakter Juang, tokoh utama yang memberontak dan tidak tunduk pada kekuasaan.
Realitas sosial sengaja dimasukkan sesuai dengan sejarah di Indonesia. Di buku lainnya, Fiersa menceritakan mengenai peristiwa pabrik semen, peristiwa hutan di Jawa Barat yang mengalami deforestasi. Peristiwa-peristiwa tersebut menurut Fiersa sengaja ditulis agar generasi muda peduli dan mulai mencari tahu akar permasalahan sesungguhnya.
Kisah cinta kaum muda dipakai sebagai bumbu dalam kisah-kisah karya Fiersa Besari. ”Ibaratkan gula itu cintanya. Saya rasa kopi yang terlalu manis itu tidak enak. Nah, kopi yang baik itu dapat memberikan kesadaran pada orang lain untuk meminumnya,” Fiersa menganologikan cerita cinta dalam bukunya.
Fiersa mengatakan realisme sosialis yang berarti kesadaran sosial yang terjadi di sekitarnya sengaja dia masukkan dalam novel-novelnya (Detik.com, 20 Februari 2018). Dari gambaran di atas, benang merah yang saya paparkan adalah buku yang dilahirkan sosok idola mempunyai pembaca fanatik.
Para pembaca itu akan mendapatkan nilai yang bisa mereka teladani dari idola. Membaca buku karya idola penting untuk membentuk karakter generasi muda. ”Setelah membaca buku Fiersa Besari saya dapat mengambil pelajaran bahwa kita hidup harus berani keluar dari zona nyaman dan selalu mencoba yang baru,” kata Agung Cahyono Putro, siswa yang menemani saya membeli buku karya Fiersa Besari saat saya tanya amanat apa yang bisa dipetik dari membaca buku-buku itu.
Guru yang baik tentu wajib tahu buku yang baik untuk dibaca siswa-siswanya. Dimulai dari buku yang mereka sukai . Tidak harus selalu tentang karya sastra bernilai tinggi. Biarkan siswa memilih, memulai membaca, dan akhirnya mencintai membaca. Seperti kutipan Fiersa Besari,”Yang penting itu determinasi, konsisten, dan tidak patah semangat.” Selamat membaca!