SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sepak bola dan politik memang sepertinya berbeda. Sepak bola lebih ke soal permainan, simpel dan menyenangkan. Sedangkan politik lebih ke persoalan kekuasaan, rumit dan kadang-kadang memuakkan. Lalu apa jadinya jika kedua isu itu didekatkan, berimpit lalu jalin-menjalin laksana benang kusut.

Itulah yang terjadi sekarang ini. Partai Golkar yang kalah tipis dari kubu Partai Demokrat –hanya selisih dua suara –dalam voting penentuan hak angket mafia pajak, kini terancam menderita kekakalahan berikutnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kubu partai berlambang pohon beringin itu segera menghadapi kenyataan sulit atas salah satu kader mereka, Nurdin Halid. Nurdin diserang di mana-mana. Seperti pemimpin politik yang menghadapi kemarahan rakyatnya, fotonya dibakar, diinjak-injak.

Ada pula pocong jadi-jadian yang diberi nama Nurdin Halid, dimasukkan ke keranda, lalu diusung ke jalan-jalan. Kata mereka yang berunjuk rasa, itu menggambarkan bahwa Nurdin Halid sudah mati di persepakbolaan Indonesia.

Bahkan di Semarang, siswa SMA Sultan Agung Kaligawe menggelar salat gaib di halaman sekolah. Biasanya, salat gaib dilakukan untuk menyalatkan orang yang telah meninggal namun di tempat yang berbeda. Kali ini, salat gaib digelar agar Nurdin Halid tidak lagi mencalonkan sebagai Ketua Umum PSSI. Ada-ada saja.

Ibarat bermain bola, Golkar sudah kalah 0-1 gara-gara angket mafia pajak tergusur. Maka, kubu Golkar pun bereaksi. Seperti dirilis berbagai media, pekan lalu, Sekjen Partai Golkar Idrus Marham mengatakan partainya akan membela mati-matian jika Nurdin Halid dizalimi.

Apa hendak dikata. Nurdin telanjur menjadi isu yang seksi untuk diobok-obok. Nama Nurdin sudah digoreng, terutama sejak gelaran Piala AFF akhir tahun lalu. Timnas dipuja tetapi Nurdin dan PSSI tidak. Pemain menjadi idola tetapi Nurdin dan PSSI tetap dicerca.

Buruknya prestasi Timnas, dugaan sarang mafia jual beli pertandingan, mafia jual beli gelar juara dan lain-lain, membuat Nurdin nyaris tak punya batu pijakan. Kawan saya Jeng Kenes pernah berkomentar dasar pijakan Nurdin hanyalah statuta FIFA.

“Statuta enggak jelas,” kata Jeng Kenes. “Statuta yang mana, mana peduli itu supporter. Yang penting prestasi sepakbola kita.”

Tetapi gara-gara persoalan politik terlalu banyak berkelebat di sekitar kisruh PSSI, orang jadi mudah membaca bahwa ada kekuatan besar yang ikut mendorong Nurdin semakin masuk jurang.

Keberadaan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di kursi VVIP bersama Arifin Panigoro, pada pembukaan Liga Primer Indonesia di Solo, awal Januari lalu, posisi Menpora Andi Mallarangeng yang juga petinggi Demokrat, membuat orang mudah menebak-nebak.  Andi yang juga orang Sulawesi Selatan, sama dengan Nurdin Halid, seolah menjadi gelandang perusak yang berani. Koreksi dan kecamannya kepada PSSI, membuat isu Kongres PSSI semakin panas.

Konon, seperti kata pengamat, Demokrat pula yang pintar melakukan aksi <I>profit taking</I> alias ambil untung dari kekisruhan ini. Ribuan orang yang berada di Jakarta untuk berunjuk rasa menuntut  pengunduran diri Nurdin Halid, apapun latar belakang partainya, kini seolah-olah berada di kubu yang sama dengan Demokrat. Teori ini sama seperti strategi memecah isu, menggorengnya dan mengambil keuntungan dari isu itu.

Mengapa PSSI begitu sarat politik? Bisa jadi ini karena faktor Pemilu 2014. PSSI yang mempunyai pengaruh sampai ke kabupaten/kota di seluruh Indonesia, yang sedikit banyak bisa mempunyai kekuatan untuk mendekati kelompok suporter di banyak daerah, menjadi lahan yang menarik untuk diperebutkan.

Ibarat perang, saat ini belum jelas akan mengarah kemana kursi Ketua umum PSSI. Komite Banding telah memutuskan untuk menolak banding  dari calon ketua umum PSSI George Toisutta dan Arifin Panigoro. Komite Banding juga menolak hasil Komite Pemilihan yang meloloskan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie jadi calon ketua umum PSSI. Artinya, Nurdin dan George sama-sama berangkat dari titik nol.

Nurdin, seorang politisi senior, seorang yang dikenal cerdik, licin bagai belut, tentu mempunyai banyak bidak untuk dimainkan. Tak peduli anjing menggonggong, dia tetap bergerak maju. Golkar mungkin akan menghitung-hitung. Jika terlalu banyak ongkos politik yang dikorbankan, mungkin Nurdin akan dibiarkan tumbang. George yang jenderal aktif dan diduga didukung kekuatan di sekitar SBY, pasti juga telah menyiapkan berbagai skenario.

Tetapi jika ingin membebaskan sepak bola dari segala karut-marut politik, siapapun calon ketua umum yang maju, sebaiknya melepaskan diri dari jerat politik. Jika ini tidak dilakukan, sepak bola kita akan selalu riuh dalam isu namun selalu sepi dalam hal prestasi.

Suwarmin
Wartawan SOLOPOS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya