SOLOPOS.COM - ilustrasi siput

Siput merupakan hewan gastropoda yang memiliki cangkang berupa uliran di seluruh tubuhnya. Fungsinya untuk bersembunyi.

Hewan mollusca yang sering kita jumpai, terutama saat musim penghujan ini kadang membuat kita jijik. Siput sensitif terhadap lingkungan. Pada saat ada rangsangan yang mengganggu, dia selalu menyembunyikan diri dalam cangkangnya yang keras.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Rangsang itu bisa fisik ataupun nonfisik, misalnya benturan, pukulan, sentuhan, cahaya yang tajam, bahkan suara yang kuat. Itulah sebabnya ada yang menyebut siput sebagai hewan pemalu.

Dari siput saya mengisahkan seorang guru dan muridnya yang unik di sebuah SMK di Soloraya. Guru itu mengampu mata pelajaran Kimia, namun pada akhir 2016, ada Program Keahlian Ganda. Dia mendapat tugas untuk mengikuti program tersebut.

Dengan latar belakang mata pelajaran yang diampunya, guru itu mengambil jurusan Tata Boga. Pertimbangannya, Kimia masih bisa diterapkan. Si guru pun mengampu mata pelajaran Kimia dan Tata Boga plus sebagai pengelola perpustakaan.

Jarak rumah si guru dari sekolah kurang lebih 15 km. Jarak tersebut ia tempuh dengan naik motor. Hari-hari dia dilalui dengan bahagia karena menjadi guru adalah cita-citanya sejak di bangku SMP.

Suatu hari, saat si guru berangkat bekerja naik motor, dia melihat siswa berseragam OSIS di pertigaan jalan. Siswa itu berjalan kaki ke sekolah. Awalnya si guru tidak begitu memedulikan, namun setelah melihat beberapa kali, dia menjadi penasaran.

Rasa penasaran si guru terjawab ketika dia masuk kelas X pada jam pertama. Saat itu, si guru membuka pertemuan dengan mengisi daftar hadir siswa. Betapa terkejutnya dia saat menyebut sebuah nama dan melihat sosok siswa siswa yang begitu sayu, lemah, pucat, tidak bersemangat, dan sedikit dekil di bangku kedua dari depan mejanya. Yang membuat si guru sedih, setiap jam pelajaran Kimia, kondisi murid itu sama saja. Dialah murid yang selalu dia lihat berjalan kaki ke sekolah, namun selalu menolak ketika ia tawarkan tumpangan.

Sehabis mengajar, si guru pun memanggil siswa itu ke ruang perpustakaan untuk menggali informasi. Saat pertemuan pertama, siswa itu hanya menunduk dan terbata-bata ketika menjawab pertanyaan. Siswa itu bahkan sempat meneteskan air mata. Komunikasi tidak berjalan.

Selang sepekan, si guru memanggil siswa itu lagi. Dia senang karena siswa itu datang ke perpustakaan dengan kondisi yang lebih baik. Siswa itu sudah tidak menunduk terus. Dia sudah berani menatap mata sang guru dan sudah berani menjawab pertanyaannya dengan lancar.

Dari pertemuan intens itu tahulah si guru bahwa siswanya itu berasal dari keluarga kurang mampu. Ayah siswanya adalah tukang parkir sementara ibunya adalah ibu rumah tangga. Pagi sekali, siswa itu harus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, menempuh jarak sekitar 13 km tanpa sarapan lebih dahulu karena ibunya belum selesai memasak. Ada satu sepeda onthel di rumah si siswa, namun sepeda itu dipakai ayahnya untuk bekerja.

Siswa itu juga tidak membawa uang saku karena tidak diberi orang tua. Kondisi belum sarapan dan harus berjalan kaki itulah yang menyebabkan si siswa selalu lelah dan tidak bersemangat dalam mengikuti pelajaran di sekolah. Saat pulang sekolah pun, dia masih harus bekerja di tempat saudaranya demi rupiah. Uang hasil dia bekerja digunakan untuk tambahan membayar utang orang tuanya di bank serta biaya pengobatan.

Uang hasil bekerja juga digunakan untuk tambahan biaya sekolah. Akibat kelelahan, malam pun dia tak sempat mengulang pelajaran di sekolah. Kondisi tersebut menyebabkan siswa itu tak berani bergaul dengan teman sekelas. Dia juga tidak berani membonceng temannya saat berangkat dan pulang sekolah. Lebih menyedihkan lagi, saat si guru menawarkan tumpangan, siswa itu selalu menolak karena tumpukan rasa tidak percaya diri dan malu.

Perasaan serba tidak ada dan serba kekurangan dibandingkan teman-temannya membuat siswa tersebut menjadi pribadi yang pendiam dan pemalu. Si guru akhirnya menceritakan kondisi siswa tersebut pada rekan-rekannya. Para guru kemudian bersepakat untuk menggalang dana dan membeli sepeda onthel.

Meski sudah memberi sepeda, namun si guru masih memantau perkembangan siswanya dan selalu memberi motivasi agar siswa itu mengikuti ekstrakurikuler yang bisa menumbuhkan rasa percaya diri. Siswa itu pun bergabung di kegiatan ektrakurikuler di sekolah, yaitu Dewan Kerja Ambalan (DKA).

Dari DKA, siswa itu mampu bangkit. Rasa percaya dirinya mulai tumbuh, mulai berani untuk bergaul dengan teman-teman sekelas, bahkan dengan anggota DKA yang berlainan kelas. Di DKA, siswa itu selalu terlihat bersemangat dan loyal. Dia cepat berkembang dan bisa mengikuti kegiatan dengan baik. Tak butuh waktu lama bagi dirinya untuk menemukan jati diri, menjadi pribadi yang tekun, tegas, disiplin, dan ceria.

Siswa itu sekarang tidak lagi seperti siput yang selalu bersembunyi manakala ada rangsangan dari luar atau berada pada lingkungan baru. Dia bukan lagi siput yang pemalu. Dia menjadi sosok yang pemberani, penuh percaya diri.

Penulis adalah guru di SMKN 3 Sukoharjo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya