SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO—Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) meminta pengelolaan zakat tak disamakan dengan pajak. Langkah tersebut dinilai JK akan memunculkan ketidakadilan antara pengusaha Islam yang harus membayar pajak dan zakat, sementara pengusana non-Islam hanya dipungut pajak. Zakat, sambung JK, tidak bisa dibandingkan dengan pajak.

Dari segi nilai, zakat tahun lalu hanya terkumpul sekitar Rp8 triliun, sementara pajak hingga Rp1.800 triliun. Lebih jauh, JK menyebut aturan pajak yang mengenakan denda bagi wajib pajak yang lalai tidak bisa diterapkan pada zakat. Karena kewajiban zakat berhubungan dengan Tuhan dan sanksi akherat.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

“Ada dua pendapat yang menyampaikan kalau pajak dan zakat itu gerakan yang sama. Ada pula yang berpendapat kalau keduanya berbeda. Silakan pendapat yang mau dipakai yang mana. Tapi kalau pungutan keduanya disamakan, akan tidak adil. Pajak sangat birokratif dan zakat tidak bisa sebirokratif itu. Apalagi karena keduanya dikenakan kepada pengusaha” ucap JK saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Zakat 2019 di Pendapi Gedhe, Kompleks Balai Kota, Solo, Senin (4/3/2019) malam.

Ekspedisi Mudik 2024

JK menanggapi laporan Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Bambang Sudibyo yang mengingatkan agar pengelolaan zakat disamakan dengan pajak seperti imbauan Menteri Keuangan. Juga sebagai pelaksanaan UU No.23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Tradisi pengelolaan pengumpulan zakat yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan para khulafa’ al-rasyidin, ucapnya, sangat mirip dengan pengelolaan pengumpulan pajak.

“Yaitu bahwa zakat bersifat wajib seperti wajibnya pajak dan dipungut oleh negara seperti halnya pajak. Negara yang sudah menerapkan sistem pengumpulan zakat seperti yang disarankan Menteri Keuangan, yaitu Malaysia. Untuk meminimalkan resistensi umat Islam terhadap ketentuan wajib berzakat tersebut, maka Pemerintah Malaysia memberikan insentif pajak yang lebih baik, yaitu bahwa zakat yang dibayarkan kepada negara mengurangi kewajiban pajak penghasilan,” kata Bambang.

Rapat yang diikuti 650 peserta dari Baznas pusat, Baznaz provinsi, Baznas kabupaten/kota serta (lembaga amil zakat (LAZ) nasional dan daerah itu digelar selama tiga hari, mulai Senin sampai Rabu (6/3/2019). Dalam laporannya, Bambang juga mengurai tentang hasil penelitian Pusat Kajian Strategis (Puskas) Baznas tentang Efektivitas Program Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat Baznas Pusat 2018.

Penelitian itu menunjukkan berbagai program pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang dilakukan Baznas pusat tahun lalu berhasil meningkatkan penghasilan mustahik rata-rata sebesar 97,88 persen, atau mendekati 100 persen. Selain itu, mengentaskan 28 persen mustahik dari garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS).

Bambang menjelaskan pada 2018, pengumpulan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) secara nasional yang masih dalam proses penghitungan, diperkirakan bisa melampaui target Rp8 triliun. Meski demikian, jumlah tersebut hanya 3,5 persen dari perkiraan potensi zakat nasional 2018 sebesar 1,57 persen PDB atau sekitar Rp230 triliun. Tahun depan, sambungnya, target Baznas mampu mengumpulkan Rp9 miliar.

“Rakornas kali ini mengusung tema Optimalisasi Pengelolaan Zakat untuk Mengentaskan Kemiskinan dan Meningkatkan Kesejahteraan Menuju Indonesia Pusat Ekonomi Islam Dunia. Tema itu akan banyak dibicarakan di rapat,” kata dia.

Terkait dengan hal tersebut, Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang diketuai Presiden Jokowi telah memasukkan zakat menjadi salah satu pilar penting dalam sistem keuangan syariah Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya