SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sebagaimana telah dicontohkan oleh Sidharta muda pada suatu ketika keluar dari istana bersama ayahanda Raja Suddhodana. Ketika itu seorang petani sedang membajak sawahnya (meluku). Tiba-tiba seekor burung menukik dari udara dan mematuk seekor cacing kecil yang lemah dari gumpalan tanah yang baru dibajak. Sambil berteduh di bawah sebuah pohon, Pangeran Sidharta merenungkan dan memikirkan kejadian yang baru dilihatnya. Sidharta muda bertanya dalam hati: Apakah semua mahluk, hidup dari saling membunuh?

Tampaknya renungan Sidharta muda sangat relevan dengan kondisi keadaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Tidak hanya di Indonesia, kejadiannya sudah merambah seluruh benua di bumi ini. Tindakan kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan sebagainya merebak dimana-mana. Manusia kini telah dihantui dengan berbagai macam tindakan kekerasan seperti: kesadisan, keberingasan, pembunuhan, anarkis, saling menyalahkan dan lainnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tindak kekerasan nyatanya tidak hanya dilakukan oleh binatang, bahkan dewasa ini justru manusia telah lebih banyak dan lebih jauh melakukan tindak kekerasan itu. Kini kekerasan hadir dalam diri mahluk yang namanya manusia. Perang berkobar dimana-mana, hampir saja harga sebuah nyawa (kehidupan) tak ada artinya. Kiranya apakah yang menjadi dasar terjadinya hal yang demikian?

Apa yang pernah disampaikan oleh Guru Agung Buddha Gautama bahwa segala sumber yang menyebabkannya ada pada tiga persoalan yaitu kebodohan (moha), keserakahan (lobha) dan kebencian (dosa). Tiga permasalahan yang menjadi sumber yang dimiliki oleh manusia yang pada akhirnya menyebabkan muncul awalnya penderitaan.

Kebodohan mengandung maksud bahwa tidak mengetahui, memahami dan mengerti dengan benar hukum kesunyataan, sebagaimana yang diungkap dalam Hukum Empat Kesunyataan Mulia maupun Hukum Tiga Corak Umum. Menghadapi sesuatu realitas yang hadir dihadapan, kita harus menyingkapinya dengan bijaksana. Apapun keinginannya selama masih menyebabkan lahir dan kelahiran kembali (belum tercapainya kesempurnaan) adalah wujud penderitaan.

Apapun yang sekarang kita dapatkan, miliki termasuk diri kita sendiri sesungguhnya selalu dalam kondisi perubahan dan tidak kekal adanya. Bila seseorang berhadapan dengan kebodohan dan tidak dapat menyadarinya, akan memungkinkan munculnya keserakahan. Dengan munculnya keserakahan bakal memberikan peluang dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan menyimpang, seperti memperkaya diri, korupsi dan lainnya.

Bukankah hal demikian sebagai penyebab penderitaan? Seseorang yang berusaha dengan keserakahan yang tampil dalam dirinya namun tidak terpenuhi akan memungkinkan dalam diri seseorang muncul rasa kebencian. Tiga permasalahan pokok haruslah dapat kita sadari, sehingga ketika kita melangkah tidak salah arah. Kekerasan juga bersumber pada kebencian dan melahirkan kebencian.

Agama Buddha menolak sama sekali tindakan kekerasan. Agama Buddha sangat menghargai kehidupan sekalipun itu tumbuh-tumbuhan. Dalam Brahmajala Sutta “Samana Gotama tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak mau merusak tumbuh-tumbuhan. Tidak membunuh mahluk. Samana Gotama menjauhkan diri dari membunuh mahluk. Ia telah membuang alat pemukul dan pedang. Ia tidak melakukan kekerasan karena cinta kasih, kasih sayang dan kebaikan hatinya kepada semua mahluk.”

Dalam Kitab Suci Dhammapada Syair 5: “Kebencian tidak akan berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir jika dibalas dengan cinta kasih. Inilah satu hukum abadi.” Bukan dengan membalas orang menaklukkan orang lain memalui tindakan kekerasan untuk mencapai kemenangan, akan tetapi terutama dengan mengalahkan dirinya sendiri dalam kesucian hati dan pikiran, barulah disebut penakluk yang sejati.

Kekerasan yang merebak dimasyarakat dapat bersumber dari dalam diri dan juga dari luar dirinya. Dari dalam diri karena memiliki bakat, potensi dan kalau dari luar termasuk budaya kekerasan dalam lingkungannya. Kecemburuan sosial juga memacu untuk munculnya seseorang menjadi frustasi, mudah peka dan sangat mudah meledak. Bagaikan api dalam sekam, mudah menyala dan berkobar. Kekerasan merupakan perilaku manusia dan sekaligus sebagai karma. Kekerasan memang tidak bisa dilawan dengan kekerasan, tapi harus dengan kelembutan.

Dalam kenyataannya bahwa tindakan kekerasan untuk melawan kekerasan sama sekali tidak mematikan kekerasan. Justru akan semakin menambah panjang daftar kekerasan. Kekerasan merupakan watak manusia, upaya untuk membasmi kekerasan adalah dengan cara bagaimana mengubah hati dan pikiran manusia itu sendiri. Inti ajaran Sang Buddha: “Janganlah berbuat kejahatan, berbuatlah kebaikan, sucikan hati dan pikiran. Inilah ajaran para Buddha.” Dhammapada 183. Inti ajaran Sang Buddha tentu sangat relevan dalam menjawab kekerasan yang terjadi dewasa ini.

Semua memerlukan cinta kasih dan kasih sayang, termasuk dunia. Untuk itu marilah kita berbuat baik dan perbuatan baik bersumber dari dalam diri serta bukan paksaan dari luar. Banyak perbuatan baik yang dapat kita lakukan dengan banyak juga caranya. Awalilah dari sedikit demi sedikit, sebab tak mungkin kita akan dapat melakukan kebaikan yang langsung menumpuk.

Kendalikanlah pikiran sehingga tidak muncul kebodohan, keserakahan dan kebencian, yang dapat menimbulkan kekerasan. Melatih berbuat baik bagaikan kita mengikat beraneka tangkai bunga menjadi karangan bunga. Sehingga dari tangkai-tangkai yang kecil setelah dirangkai akan menjadikan karangan yang indah yang dapat kita lihat dan nikmati bersama.

Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta.  (Semoga semua mahluk hidup berbahagia) Sadhu 3X.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya