SOLOPOS.COM - Kelompok Ulem Tentrem dari Dusun Sogan I, Desa Sogan, Kecamatan Wates, saat menampilkan kesenian tradisional gejog lesung di Balai Desa Sogan, Kamis (13/8/2015). (JIBI/Harian Jogja/Rima Sekarani I.N.)

Budaya Kulonprogo gejog lesung dilestarikan dengan merekrut generasi muda.

Harianjogja.com, KULONPROGO-Pemain kesenian tradisional gejog lesung mengaku kesulitan melakukan kaderisasi. Mereka merasa pesimis karena banyak generasi muda yang ternyata malu mempelajari dan melestarikan budaya sendiri.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Hal itu disampaikan, Ngadimin, anggota kelompok gejog lesung Ulem Tentrem dari Dusun Sogan I, Desa Sogan, Kecamatan Wates, kepada Harianjogja.com, Kamis (13/8/2015). “Anak muda tidak mau kalau main kesenian tradisional begini. Malah pada bilang malu,” kata Ngadimin.

Ulem Tentrem sudah berdiri sejak 20 tahun lalu. Namun, anggotanya hanya orang-orang yang sama. Hampir tidak ada anak muda yang tertarik bergabung. Tidak heran jika 40 anggotanya rata-rata sudah 40 tahun ke atas. “Yang tampil hari ini saja usianya sekitar 40 tahun sampai 60 tahun lebih,” ungkap Ngadimin, ditemui di Balai Desa Sogan, Kecamatan Wates, Kulonprogo.

Seni gejog lesung mengandalkan alu dan lesung sebagai instrumen musik utama. Keduanya adalah alat penumbuk padi tradisional yang biasa digunakan petani di masa lampau. Kesenian ini dipercaya memiliki beberapa kelebihan yang sempat membuatnya mencapai masa kejayaan. “Dulu saat ada orang sulit melahirkan, bisa lancar kalau dibunyikan lesung. Lalu kalau ada pernikahan anak pertama dengan dengan anak pertama, gejog lesungnya memainkan gending bubrah kawah untuk keselamatan,” papar Ngadimin.

Ngadimin sendiri menyadari makin banyak kesenian moderen yang jauh lebih menarik bagi generasi muda. Namun, dia dan kelompoknya terus berusaha menanamkan rasa cinta terhadap kesenian tradisional, terutama kepada anak-anak. Sesekali anak-anak di lingkungan sekitar diajak ikut berlatih. “Kami latihan setiap tanggal 15 atau bulan purnama. Kalau anak-anak, biasanya dikenalkan dulu dengan permainan tradisional,” ujarnya.

Ngadimin menambahkan, upaya merangkul generasi mudah juga mendapat dukungan fasilitasi dari dua orang pendamping desa wisata. “Kami kemarin dikasih tahu agar membuat inovasi biar gejog lesungnya makin bagus,” tuturnya.

Sementara itu, pendamping desa budaya di Desa Sogan, Agus Kayun berpendapat, kesenian gejog lesung harus dilestarikan sebagai kekayaan budaya. “Potensi ini perlu dikembangkan. Misalnya, ada inovasi menggabungkannya dengan kesenian lain seperti ketoprak,” kata Agus.

Pendamping seperti dirinya, lanjut Agus, bertugas memfasilitasi kebutuhan kelompok Ulem Tentrem. “Misalnya membantu mereka membuat jaringan agar bisa tampil di berbagai acara. Lalu kalau ada yang mau buat inovasi, kami bisa bantu mempertemukan dengan orang-orang yang ahli di bidang seni,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya