SOLOPOS.COM - Ahmad Ubaidillah (JIBI/SOLOPOS/ist)

Ahmad Ubaidillah (JIBI/SOLOPOS/ist)

Wajah budaya kampus akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan berubah ke arah kondisi yang bersifat “permukaan”. Ruang-ruang kebudayaan dipenuhi oleh berbagai pertunjukan, tontonan, tayangan, representasi dan tindakan-tindakan yang mengeksploitasi berbagai bentuk yang bernilai rendah, banal, remeh-temeh dan tak esensial. Inilah yang disebut dengan budaya komoditas.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam hal ini, Theodor Adorno mengatakan, di dalam The Culture Industry (1991), kebudayaan yang dibangun mengikuti model-model ”budaya komoditas” (culture industry), termasuk budaya kampus, hanya menghasilkan wujud-wujud kebudayaan yang dangkal. Di dalamnya lebih mementingkan daya tarik, keterpesonaan dan ekstasi massa yang bersifat temporer. Caranya dengan mengeksploitasi berbagai fetisisme untuk memenuhi “hasrat rendah” (desire) manusia, di antaranya adalah seks, kekerasan dan mistik.

Kebudayaan yang dibungkus dengan format budaya massa tersebut biasanya dikendalikan oleh sekelompok elite (produsen, pengusaha, media), yang dalam rangka menarik massa yang luas, menciptakan bentuk-bentuk kebudayaan yang dapat dipahami dengan mudah oleh massa, sehingga cenderung bergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan yang ringan, enteng, mudah, menghibur, menarik perhatian (eye catching) dan menimbulkan pesona. Inilah banalitas kebudayaan, kebudayaan yang remeh-temeh.
Dalam konteks kampus, budaya remeh-temeh tersebut akan menciptakan lingkungan, keadaan dan suasana kampus yang tidak ubahnya seperti shop display. Mahasiswa lebih senang menampilkan gaya pakaian, gaya bicara, gaya handphone, gaya kendaraan, gaya tongkrongan, sebagai cara untuk menampilkan status, prestise dan kelas. Mereka abai terhadap upaya mengejar ilmu pengetahuan. Mereka asyik tenggelam dalam mengejar tugas, nilai dan kelulusan, tetapi tidak punya waktu, keinginan dan antusiasme untuk bersosialisasi dan bergaul di dalam kehidupan nyata (sosial, politik, kultural, spiritual).

Tidak hanya itu. Banalitas kampus saat ini telah menciptakan kondisi kampus yang penuh dengan ruang-ruang budaya populer dan gaya hidup. Aktivitas-aktivitas kampus di satu pihak kini mengikuti model-model ekspresi budaya populer, misalnya kuliah di sebuah kafe yang menyediakan door prize, atau studi banding (baca: jalan-jalan) yang disponsori perusahaan.

Di pihak lain mengikuti model asylum, di mana mahasiswa dikondisikan hidup di dalam sebuah ruang steril yang tidak ada kontak dengan masyarakat umum dan persoalan-persoalan sosial nyata. Padahal, kontak dengan masyarakat dan terlibat menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat sudah menjadi tugas dan tanggung jawab mahasiswa.

Budaya sendiri
Banalitas budaya kampus juga menciptakan anak bangsa (mahasiswa)–sebagai manusia penerus bangsa–yang cenderung hanyut, terpesona atau menerima begitu saja apa-apa yang ditawarkan padanya (tontonan, produk, kesenangan, gaya, gaya hidup) tanpa mampu lagi mengembangkan daya kritis dalam dirinya dan mencoba melawan.

Inilah manusia yang digambarkan Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1983) sebagai manusia fatalis. Manusia yang tidak berdaya di dalam kekuasaan sistem (objek, tontonan, media, citra). Manusia yang terlena dalam kesadaran dan hanyut di dalam logikanya—homo fatalis.

Anehnya, manusia kampus sebagai manusia fatalis sudah terserap ke dalam berbagai dunia (musik, fashion, komoditas, gaya hidup) yang bersifat enteng dan remeh-temeh, dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Kalau sudah begini, manusia kampus tersebut sudah menjadi mayoritas yang diam (the silent majorities), yang tak mampu melakukan kritik dan refleksi. Mereka hanya dapat menyerap segala sesuatu yang disodorkan kepadanya tanpa mampu menginternalisasikan, mengritisi dan memaknainya secara jernih dan bemakna.

Manusia kampus (rektor, dosen, mahasiswa dan sebagainya) ketika sudah “teracuni” banalitas budaya akan menjadi manusia penikmat (gaya, pengetahuan, teori), ketimbang pencipta. Mereka lebih nyaman menjadi pemakai ketimbang pencipta. Akibatnya, ini hanya menghasilkan kebudayaan yang tidak produktif, yang hanya terperosok pada budaya konsumerisme.

Inilah anak bangsa yang menghabiskan hidupnya, di satu pihak, untuk mencari nilai, gelar, pangkat dan kelulusan; di pihak lain kepuasaan, keterpesonaan dan kesenangan. Mereka tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan lainnya, seperti intelektualitas, produktivitas, sosialitas, spiritualitas dan religiusitas.

Oleh karena itu, dalam meneropong arah budaya kampus di masa depan agar tidak terjadi budaya remeh-temeh tersebut, harus ada upaya-upaya untuk menghentikan dominasi banalitas, popularitas, sifat steril dan asylum budaya kampus. Seluruh “warga” kampus harus menciptakan budaya tandingan (counter culture), sehingga akan tercipta wajah budaya kampus yang lebih produktif, substantif, humanis dan bermakna.

Budaya kampus demikian di dalamnya terdapat manusia-manusia kampus yang tidak lagi menjadi “subjek pasif” kebudayaan, melainkan “subjek aktif” yang mampu secara aktif, dinamis dan kreatif membangun dunia kebudayaannya sendiri (the critical majorities).

Selain itu, untuk membangun budaya kampus yang lebih humanis, bermakna dan luhur, kita harus mereproduksi “manusia aktivis”, yaitu manusia yang mempunyai daya kritis, daya kreativitas, jiwa kepeloporan, keinginan berprestasi, hasrat inovasi, dan jiwa kosmopolitan, yang secara bersama-sama mampu membangun sebuah masyarakat yang tidak lagi dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar (kapitalisme, globalisasi), tetapi secara kreatif mampu memproduksi kebudayaan sendiri (self producing society). Semoga.

Ahmad Ubaidillah, Mahasiswa Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia, Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya