SOLOPOS.COM - Shoim Sahriyati (FOTO/Dok)

Shoim Sahriyati (FOTO/Dok)

Direktur Yayasan Kakak
Bergiat di Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM)

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Rangkaian berita tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Solo pada akhir April hingga sekarang memunculkan keprihatinan yang mendalam bagi konsumen pada umumnya. Lembaga yang semestinya menjadi alat untuk  menumbuhkan dan menggalang kekuatan konsumen kini mati suri.
Hal itu ditunjukkan dalam berita BPSK  Solo Setop Terima Aduan, Konsumen Dirugikan  (SOLOPOS, 27/4) yang menggambarkan bahwa BPSK terpaksa harus menutup sementara aktivitas pelayanan pengaduan konsumen karena tidak tersedianya staf kesekretariatan yang mengundurkan diri. Staf  sekretariatan yang mengundurkan diri berstatus pegawai negeri sipil (PNS).
Seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua BPSK Kota Solo, bahwa sebelumnya ada enam PNS di Sekretariat BPSK Solo. Tiga orang mundur, dilanjutkan dua lainnya menyatakan hanya bisa bekerja paruh waktu. Yang terakhir, Kamis (26/4) sore, satu-satunya yang tersisa PNS mengundurkan diri.
Hal itulah yang akhirnya membuat BPSK Kota Solo mati suri dan tidak bisa melakukan fungsinya dengan menutup pelayanan pengaduan konsumen. Persoalan anggaran yang tidak ada untuk mendukung operasional adalah penyebab utamanya. Hal itu dapat dilihat dari anggaran Rp700 juta yang diusulkan saat penyusunan APBD Kota Solo 2012 hanya disetujui Rp200 juta dan itu pun belum cair. Sungguh, situasi tersebut sangat disayangkan.
Yang lebih memprihatinkan lagi, dalam berita Ketua BPSK Diganti (SOLOPOS, 4/5) digambarkan bahwa Ketua BPSK Kota Solo dari unsur PNS nyaris tak pernah menghadiri setiap aktivitas BPSK, begitu juga dengan anggota BPSK lainnya yang berasal dari unsur PNS. Dalam berita tersebut dinyatakan bahwa BPSK tidak menerima pengaduan masyarakat hingga batas waktu tak ditentukan.
Hal di atas menggambarkan bagaimana Pemerintah Kota (Pemkot) Solo masih setengah hati untuk memberikan dukungan pada keberadaan BPSK. Padahal BPSK yang merupakan amanat Undang-Undang tentang  Perlindungan Konsumen ( UUPK ), yaitu UU No 8/1999, memiliki tugas untuk melindungi konsumen dengan menekankan hak dan kewajiban dari konsumen dan produsen.
Hal itu dilatarbelakangi selama ini pelaku usaha dalam posisi yang lebih berdaya dibandingkan dengan konsumen. Pembentukan BPSK ditekankan dalam UUPK Pasal 49 ayat (3) bahwa anggota BPSK terdiri dari unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha. Dalam ayat (5) dinyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.
Dalam Pasal 49 ini sebenarnya dapat dilihat bahwa semangat pemerintah pusat sudah serius dan sepenuh hati untuk mendukung perlindungan konsumen. Sudah seharusnya di tingkat lokal mendapatkan perhatian yang sama. Hal itu dikuatkan lagi dengan Keppres No 32/2008 tentang Penetapan BPSK di Lima Kota dan Tiga Kabupaten di Indonesia, salah satunya adalah Kota Solo.  Dalam Keppres tersebut, khususnya Pasal 3, dinyatakan bahwa biaya pelaksanaan tugas BPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dari  kebijakan di atas  sangatlah jelas bahwa Pemkot Solo menjadi kunci penguatan BPSK di Kota Solo. Dari persoalan yang muncul  dapat dilihat bahwa justru yang melumpuhkan peran BPSK adalah pihak pemerintah kota. Salah satunya adalah kurang berfungsinya anggota BPSK dari unsur PNS, juga dukungan pemerintah dalam menyediakan tenaga untuk mendukung kesekretariatan.
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana pemerintah kota menjamin ketersediaan dana untuk operasional sehingga BPSK tetap fungsional dan bertahan untuk menguatkan posisi konsumen. Menjadi sangat ironis ketika justru pemerintah yang melumpuhkan BPSK, karena pada dasarnya  pemerintah yang memiliki kewajiban memberikan perlindungan kepada konsumen.
Apa yang terjadi dalam tubuh BPSK Kota Solo hendaknya menjadi bahan refleksi pemerintah dan mengevaluasi tenaga yang mendukung sekretariat menjadi sangat penting. Apa yang menjadi penyebab utama mundurnya enam PNS yang mendukung operasionalisasi BPSK? Penyebab itulah yang harus diurai sehingga bisa diminimalisasi atau bisa diantisipasi.
Harapan ke depan, pemerintah dapat menjamin penyediaan staf di Sekretariat BPSK Kota Solo. Refleksi juga wajib dilakukan untuk melihat anggota BPSK yang kurang berfungsi optimal atau bahkan tidak berfungsi. Perspektif bahwa perlindungan konsumen menjadi tugas pemerintah tampaknya perlu ditekankan.
Justru sebenarnya di tangan merekalah diharapkan BPSK lebih bisa berdaya dan berfungsi dalam menempatkan hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha. Anggota BPSK dari unsur PNS memang harus mengedepankan kerja dengan hati karena berkaitan dengan persoalan masyarakat dalam posisi yang tidak mendapatkan keadilan. Kerja yang berhubungan dengan perjuangan untuk keadilan membutuhkan empati dan kepedulian yang lebih.

Langkah Konkret
Refleksi yang dilakukan hendaknya diikuti langkah yang kongkret untuk menguatkan BPSK. Langkah kongkret itu meliputi penyediaan dan jaminan bekerjanya staf sekretariat, jaminan anggota BPSK dari dari unsur pemerintah berfungsi efektif dan efisien dan jaminan ketersediaan dana operasional dengan dukungan lembaga legislatif (DPRD Kota Solo). Kuatnya BPSK secara otomatis menjadi cerminan kekuatan konsumen.
Lembaga ini menjadi salah satu yang diharapkan bisa mengumpulkan sisa-sisa kekuatan konsumen ketika mereka bersengketa dengan pelaku usaha. Lembaga lain seperti Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) memiliki fungsi yang sama. Akan tetapi, lembaga ini masih sangat terbatas jumlahnya dan situasinya juga banyak yang mati suri karena persoalan kompetensi. Keterbatasan dari LPKSM meniscayakan peran BPSK yang cukup besar dan menjadi harapan masyarakat untuk memperjuangkan hak konsumen ketika terjadi sengketa.
Kekuatan BPSK berkait erat dengan kekuatan konsumen. Kekuatan konsumen lambat laun akan terbangun dengan melihat proses pembelajaran baik langsung maupun tidak langsung ketika ada sengketa konsumen. Proses pembelajaran yang langsung  ketika seorang konsumen memutuskan untuk mengadukan ketidakadilan yang dilakukan pelaku usaha. Proses yang dialami sejak melaporkan sampai pada penyelesaian kasus dapat menjadi pembelajaran langsung bagi masyarakat.
Secara otomatis pengalaman itu menjadi hal penting dalam diri konsumen dan memengaruhi konsumen di sekitarnya yang mengikuti kasus sengketa tersebut. Sedangkan pembelajaran yang tidak langsung salah satunya berita di media massa yang berkaitan dengan penyelesaian kasus dan pengaduan kasus yang sudah tertangani dengan baik. Dari catatan BPSK Solo, pada 2011 telah menangani 264 kasus dan 17 kasus pada 2012.
Kasus yang sudah tertangani bisa diurai, dianalisis  kemudian dikemas untuk informasi dan pembelajaran masyarakat. Kecenderungan dari perilaku pelaku usaha yang mengesampingkan atau bahkan melanggar hak konsumen bisa terekam dan diketahui kalangan masyarakat. Informasi itu akan menjadi masukan bagi konsumen untuk bisa bertindak kritis dan saatnya menjadi konsumen yang cerdas.
Jika kasus sengketa konsumen-produsen tersebut dapat diselesaikan dengan baik, konsumen akan mendaptkan haknya dan pelaku usaha memberikan kewajibannya. Hal itu secara langsung juga menjadi pembelajaran dan memberikan efek jera kepada para pelaku usaha. Jika konsekuensi dari sengketa menjadi efek jera bagi pelaku usaha tentu hak-hak konsumen akan menjadi hal utama yang diperhatikan pelaku usaha di samping kewajiban konsumen. Mari dukung BPSK untuk lebih banyak berkarya. Semoga Pemkot Solo menjadi sepenuh hati mendukung keberadaan BPSK. Semoga!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya