SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok/JIBI/Solopos/Antara)

BPK mengungkap masalah yang membelit PLN dalam proyek listrik 10.000 MW.

Solopos.com, JAKARTA — PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero harus menanggung US$78,69 juta dan Rp609,5 miliar akibat permasalahan dalam pelaksanaan proyek pembangkit listrik 10.000 MW. Hal itu terungkap dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 2 2016 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

BPK mengungkap masalah utamanya adalah kelemahan perencanaan dan keberadaan harga tak wajar terkait kebutuhan percepatan pembangunan listrik periode 2006–2015. “Simpulan tersebut terjadi karena ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan percepatan proyek tersebut,” kata Kepala BPK Harry Azhar Azis di Jakarta, Kamis (6/4/2017).

Proyek-proyek yang dimaksud yakni, PLTU Tanjung Balai Karimun, PLTU Ambon, PLTU 2 NTB Lombok, serta PLTU Kalimantan Barat 1 dan Kalimantan Barat 2 yang dua-duanya mangkrak. Selain potensi kerugian negara akibat proyek listrik mangkrak, PLN juga disebut belum mengenakan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan PLTU senilai Rp704,87 miliar dan US$102,26 juta.

Menurut Harry, banyaknya masalah yang membelit PLN itu adalah lemahnya sistem pengendalian internal (SPI). Permasalahan itu terjadi karena perencanaan kegiatan tidak tepat serta pelaksanaan kebijakan yang justru meningkatkan porsi belanja.

Contoh dari situasi tersebut yakni perubahan atau penambahan jenis pekerjaan meliputi pekerjaan di luar lingkup kontrak, pekerjaan yang seharusnya sudah diakomodasi dalam lingkup kontrak, serta potensi tambahan biaya atas pengajuan klaim kontraktor.

Salah satu ilustasi yang menunjukkan masalah tersebut nampak dalam penyelesaian proyek PLTU Adipala. Proses pelaksanaan proyek tersebut melebihi batas waktu pinjaman tanggal 2 November 2014, sehingga hal itu memaksa PLN harus menyediakan dana investasi sebesar US$137,56 juta dan Rp555,97 miliar.

Selain kesalahan pengambilan kebijakan, persoalan lain yang membuat tanggungan perusahaan listrik pelat merah itu membengkak adalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Berawal dari pengesampingan undang-undang, tulisan laporan itu, pelaksanaan kegiatan terlambat sehingga memengaruhi pencapaian tujuan, denda keterlambatan pekerjaan, serta pemborosan.

Namun demikian, menurut Harry, efektifitas pemeriksaan BPK hanya akan tercapai jika laporan hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh entitas yang diperiksa. Di samping proyek 10.000 MW. Lembaga auditor negara itu juga telah melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) terhadap SKK Migas terkait kegiatan pengelolaan rantai suplai.

Kesimpulan BPK terkait proses tersebut adalah pengelolaan rantai suplai belum didukung sistem pengendalian intern yang memadai dan belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai undang-undang. “Mereka juga belum meiliki standar, jenis, dan kategori terkait dengan besaran biaya yang digunakan [pada kegiatan operasi perminyakan,” ungkap Harry lagi.

Adapun permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian pada pemeriksaan operasional BUMN di antaranya pengadaan pemasangan pipa jalur Bitung–Cimanggis dan proyek pengembangan Duri – Dumai senilai US$21,85. Selain itu, ada pula pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas Batam senilai Rp18,57 miliar yang tak bisa dimanfaatkan oleh PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya