SOLOPOS.COM - Ilustrasi stres memikirkan utang. (Freepik.com)

Solopos.com, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan menyinggung kekhawatiran atas penurunan kemampuan pemerintah pimpinan Joko Widodo membayar utang dan bunganya saat menyampaikan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat atau LKPP 2020 dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (22/6/2021). Laporan BPK terkait utang pemerintah Jokowi itu memicu legislator di Komisi Keuangan dari PDIP Eriko Sotarduga angkat bicara.

Eriko Sotarduga mempertanyakan standar yang digunakan BPK dalam menentukan tingkat solvabilitas utang Indonesia di era pemerintah Presiden Joko Widodo. Menurut politikus PDI Perjuangan, hal tersebut harus dapat dibuktikan secara akuntabel.

Promosi Wealth Management BRI Prioritas Raih Penghargaan Asia Trailblazer Awards 2024

Dalam LKPP 2020 itu, BPK khawatir dengan penurunan kemampuan pemerintah Jokowi membayar utang dan bunganya. Pasalnya, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77% atau melampaui rekomendasi IMF sekitar 25%-35%.

Baca Juga: Waspada, Ini Gejala Lain Covid-19 Varian Delta

Ekspedisi Mudik 2024

“Berapa banyak utang yang jatuh tempo sehingga dapat menyebabkan pemerintah gagal bayar misalnya. Tentu pernyataan itu harus didukung oleh rilis resmi mengenai tata kelola keuangan negara agar tidak terjadi misleading informasi,” katanya melalui pesan instan, Rabu (23/6/2021).

Eriko mengakui rasio utang Indonesia meningkat selama pandemi Covid-19. Namun, baik dan buruk dari kenaikan utang tersebut relatif. Oleh karena itu, BPK harus dapat menunjukkan sisi mana yang berbahaya.

Dia juga mempertanyakan apakah pengelolaan utang Indonesia sesuai dengan standar akuntabilitas keuangan negara. Menurutnya,  pemerintah sudah mempersiapkan pembayaran surat berharga negara (SBN) dan sebagian besar utang pemerintah berupa SBN.

Solusi BPK

“Kemudian solusi apa yang ditawarkan oleh BPK untuk mengatasi kenaikan rasio utang di tengah pandemi ini?” jelasnya.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Eriko melihat rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang 46,77% jauh lebih rendah. Singapura ada di 154%, Malaysia 64,62%, Filipina 60,4%, dan Thailand 47,28%.

Lalu dikomparasi dengan sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, China, dan Jepang yang mencapai di atas 100%. Dengan demikian, lanjutnya, Indonesia masih cenderung konservatif dalam soal utang.

Baca Juga: Ini 4 Strategi Pintar Menabung untuk Naik Haji

“Selama batas rasio utang masih mengacu berdasarkan UU Keuangan Negara telah ditetapkan, yakni 60%, itu masih dapat dikatan aman. Namun jika BPK mengacu pada standar yang ditetapkan oleh IMF, tentu itu harus dapat dijelaskan secara akuntabel di sisi sebelah mana utang Indonesia dapat dikatakan sudah berbahaya?” ucapnya.

Sebelumnya, Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengungkapkan tren penambahan utang pemerintah Jokowi dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara. Dari data Kemenkeu, utang pemerintah pada 2020 mencapai Rp6.074,56 triliun, naik signifikan dibandingkan posisi Rp4.778 triliun pada akhir 2019.

“Sehingga memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang,” jelas Agung Firman dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (22/6/2021).

KLIK dan LIKE untuk lebih banyak berita Solopos

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya