SOLOPOS.COM - Petugas BPJS melayani tenaga kerja. (JIBI/Bisnis/Dok)

Harianjogja.com, JOGJA—Penerapan program dana pensiun dasar oleh BPJS Ketenagakerjaan (Naker) mulai 1 Juli 2015, masih diperdebatkan. Pasalnya ada pemberi kerja yang keberatan dengan penerapan program tersebut. Alasannya pun beragam.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Apindo/Kadin Hariyadi Sukamdani menegaskan, aturan SJSN masih memiliki banyak kekurangan. Dia kawatir, pemberi kerja harus menanggung dua kali yaitu BPJS dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Kami masih akan mengajukan judicial review terkait implementasi program JP ini karena dirasa memberatkan industri,” kata Hariyadi.

Dia menambahkan, penerapan program JP tersebut dalam jangka panjang akan menimbulkan kerawanan viskal, di mana pengusaha dan Negara akan menanggung akibatnya. Bagaimana mungkin, komitmen jangka panjang hanya dibayar dalam jangka waktu 15 tahun.

“Kalau terjadi defisit, maka pemberi kerja akan menambah lagi iurannya. Di beberapa Negara sistem seperti ini justru membuat negara
kolaps, seperti Yunani,” kritiknya.

Ketua Umum Asosiasi Dana Pensiun Indonesia Gatut Subadio mengatakan hingga kini jumlah peserta program dana pensiun di Indonesia sebanyak 3,5 juta. Untuk menjembatani masalah tersebut, Dirut Manulife Indonesia Legowo Kusumonegoro menghimbau agar masyarakat tidak melulu bersandar pada BPJS.

Menurut dia, sudah saatnya masyarakat memikirkan masalah dana pensiun sejak dini.

“Sebab, kalau dilihat 20 tahun mendatang, jumlah pensiun di Indonesia akan bertambah dua kali lipat. Sayangnya, kebiasaan orang Indonesia masih jarang memikirkan masa tua,” tutup Legowo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya