SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Antara)

BPJS Kesehatan masih menjadi perdebatan, UII mengusulkan adanya dewan pengawas syariah

Harianjogja.com, JOGJA- Polemik terkait fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dibahas dalam seminar nasional di Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (25/8/2015).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dalam seminar tersebut diusulkan adanya Dewan Pengawas Syariah dalam BPJS Kesehatan untuk mengawasi transaksi agar sesuai prinsip syariah.

Ekonom UII Priyonggo Suseno mengatakan, secara umum ulama Islam tidak menolak adanya asuransi sosial. Menurutnya, tinjauan syariah terhadap program BPJS Kesehatan dapat dipilah menjadi dua. Baik program bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan peserta non PBI. Untuk peserta PBI, lanjut Priyo, perlu memerhatikan dua kriteria.

“Standar kemiskinan dan alokasi penggunaan dana bagi PBI,” ujar dia di sela kegiatan Seminar Nasional BPJS Dalam Perspektif Syariah di Kampus UII Jogja, Selasa (25/8/2015).

Menurutnya, manfaat jaminan sosial bagi peserta PBI dan non PBI haruslah sama. Sebab, adanya pembedaan kelas layanan atau manfaat yang didasarkan pada premi yang wajib bayar berpotensi melahirkan adanya moral hazard. “Jika dana kontribusi mengalami surplus maka pengelolaan dana surplus tersebut harus dilakukan oleh lembaga keuangan syariah,” tukasnya.

Soal penerapan denda atas keterlambatan pembayaran hal itu tidak dipersoalkan selama tidak mengurangi adanya potensi moral hazard.

“Yang terpenting adalah penggunaan hasil denda untuk kepentingan sosial bukan dikembalikan menjadi pendapatan perusahaan [BPJS]. Nah, perlu adanya Dewan Pengawas Syariah dalam BPJS Kesehatan untuk mengawasi transaksi agar sesuai prinsip syariah,” usulnya.

Terkait hal itu, Direktur Utama RSUP dr. Sardjito Mochammad Syafak Hanung mengatakan, pelaksanaan BPJS Kesehatan mengusung prinsip-prinsip kegotongroyongan.

Sayangnya, banyak masyarakat atau peserta BPJS yang merasa rugi membayar iuran terus menerus padahal tidak pernah sakit. “Ini karena peserta belum memahami prinsip kegotongroyongan dalam BPJS Kesehatan ini,” kata Syafak.

Adapun Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Andi ZA Dulung menilai, sulit rasanya pemerintah mendirikan dua lembaga [BPJS] yang sama. Kalaupun dilakukan perubahan terhadap BPJS, maka perubahan dilakukan pada mekanisme dan prinsip kerjanya. “Tidak ada itu [pemerintah] mendirikan dua lembaga yang sama,” tegas Andi saat menjadi pembicara pada seminar tersebut.

Menurut Andi, berdasarkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Peserta jaminan kesehatan adalah mereka yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.

“Di sini yang ditekankan adalah prinsip kegotongroyongan. Orang yang miskin ditanggung Negara, sementara yang tidak, bergotongroyong. Saling membantu untuk membayari orang,” tukasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya