SOLOPOS.COM - Ilustrasi kartu BPJS Kesehatan. (JIBI/Solopos/Dok.)

BPJS Kesehatan mengkaji kenaikan premi untuk kelas I dan II demi menutup defisit.

Solopos.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mendiskusikan langkah strategis untuk mencegah defisit neraca keuangan lembaga tersebut. Salah satunya menaikkan premi peserta kelas I dan II.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, mengatakan dalam pertemuan di Istana, Presiden Jokowi menanyakan jumlah dana yang dibutuhkan agar neraca keuangan BPJS Kesehatan tidak defisit lantaran pembayaran klaim yang lebih besar dibandingkan pendapatan dari premi. Pasalnya, tahun ini lembaga tersebut berisiko mengalami defisit hingga Rp6 triliun.

“Pak presiden tadi bertanya tahun depan berapa dibutuhkan untuk suntikan. Kalau tidak dalam bentuk suntikan, berapa yang dibutuhkan, diskemakan, dalam iuran APBN,” ujarnya di Kantor Presiden, Jumat (20/11).

Fahmi Idris menuturkan pada 2016, pemerintah telah menetapkan kenaikan premi peserta kelas III dari Rp19.225/orang/bulan menjadi Rp23.000/orang/bulan. Premi tersebut lebih rendah dari perhitungan BPJS Kesehatan dan DJSN yang mengusulkan premi sebesar Rp36.000/orang/bulan.

Kondisi tersebut, lanjutnya, masih berisiko menimbulkan defisit neraca keuangan BPJS Kesehatan pada tahun depan. Apalagi total klaim pada 2016 diproyeksi menembus Rp68 triliun lantaran jumlah peserta dan utilisasi meningkat.

Selain itu, Direksi BPJS Kesehatan juga mengungkapkan opsi kenaikan iuran peserta nonsubsidi untuk kelas I dan II guna menutup defisit neraca keuangan. Menurut Fahmi, opsi tersebut merupakan bagian dari gotong royong pembayaran iuran dengan peserta yang kurang mampu atau penerima bantuan iuran.

Berdasarkan estimasi awal BPJS Kesehatan yang merujuk pada hitungan aktuaria, iuran peserta kelas I berpotensi naik dari Rp59.500/orang/bulan menjadi Rp80.000/orang/bulan dan peserta kelas II dari Rp42.500/orang/bulan menjadi Rp50.000/orang/bulan.

“Ini hitungan awal kita, tapi belum ada angka pasti, mesti kita bicarakan dulu, dihitung kemampuan masyarakat berapa. Kemudian kita harus siapkan semua data dengan baik. Tapi kita tidak akan menganggu kelas III,” katanya.

Menurut Fahmi, risiko defisit neraca keuangan BPJS Kesehatan akan terus mengintai seiring belum seimbangnya bauran jumlah peserta yang sakit dengan peserta yang sehat.

Dari total peserta BPJS Kesehatan yang mencapai 154 juta, 12 juta peserta nonformal mengajukan klaim sebesar Rp11 triliun, sedangkan lebih dari 135 juta peserta lainnya hanya mengajukan klaim Rp18 triliun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peserta kelompok pekerja nonformal bergabung dengan BPJS Kesehatan dalam kondisi sakit, sehingga klaimnya membengkak.

“Ini jomplang sekali. Tapi karena asuransi sosial itu satu pooling of risk, pooling of fund dan pooling peserta, kita tidak boleh memisah-misahkan,” imbuhnya. Fahmi menambahkan butuh masa transisi selama 3-5 tahun agar seluruh penduduk Indonesia menjadi peserta BPJS Kesehatan dan terbentuk bauran yang seimbang antara peserta yang sehat dan sakit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya