SOLOPOS.COM - Amir Tohari, Pengurus Pasoepati (FOTO/Istimewa)

Amir Tohari, Pengurus Pasoepati (FOTO/Istimewa)

“Prestasi nol, konflik jalan terus”. Demikian ungkapan dari beberapa kawan penggemar sepak bola dalam melihat perkembangan persepakbolaan di Tanah Air. Rebutan kekuasaan sebagai pengendali sepak bola, sepertinya tak kunjung padam. Masing-masing kelompok mengklaim sebagai yang paling benar dan paling berhak mengelola sepak bola di Tanah Air.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Persoalan terakhir inilah yang menjadikan tanda tanya besar, sebenarnya ada apa di balik pengelolaan sepak bola itu. Persoalan bisniskah…? Persoalan politikkah…? atau persoalan gengsi kelompok tertentu yang ingin ”mencari sesuatu” dari massa penggemar olah raga sepak bola.

Meski konflik di PSSI sudah lama terdengar yang seakan berbanding terbalik dengan prestasi persepakbolaan itu sendiri. Prestasi diukir Timnas Indonesia pada ajang SEA Games 1991 di Manila, seakan menjadi prestasi akhir dari perjalanan PSSI. Karena setelah itu, konflik seakan membayangi perjalanan organisasi sepak bola ini. Mulai mafia wasit, pengaturan skor, kerusuhan suporter, hingga perebutan kekuasaan dan bisnis yang semakin menambah panjang konflik PSSI.

Sabagai satu-satunya wadah yang mengelola sepak bola, sudah barang tentu PSSI memiliki peran sentral dalam mengelola kompetisi yang berhubungan dengan jutaan massa penggemar olahraga sepak bola. Posisi yang demikian inilah, menjadikan PSSI sebagai organisasi yang ”seksi” untuk diperebutkan. Apalagi sepak bola ditargetkan sebagai sebuah industri yang di dalamnya akan berlaku hukum ekonomi yakni ”mencari keuntungan”. Meski untuk menjadi sepak bola industri pun, perjalannya masih terseok-seok.

Dalam perjalanannya, konflik perpecahan bermula saat organisasi ini dipimpin oleh Nurdin Halid yang mengendalikan PSSI dari balik jeruji besi. Pro dan kontra terhadap keberadaan Nurdin Halid pun kian kuat hingga memunculkan kelompok 78 yang dikomandani Arifin Panigoro dengan membuat LPI sebagai liga tandingan. Meski di kemudian hari LPI justru menjadi embrio masalah baru yang menjadikan konflik PSSI berkepanjangan hingga sekarang.

KLB Solo

Pada pertengahan 2011 lalu, masyarakat sepak bola Tanah Air sempat berharap pada hasil Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang dilaksanakan di Kota Solo sebagai awal dari bangkitnya persepakbolaan Tanah Air. Namun harapan tinggallah harapan, hanya berjalan beberapa bulan setelah terpilihnya Djohar Arifin Husain, konflik di tubuh PSSI terjadi lagi.

Pada kompetisi tahun 2011–2012 pun, akhirnya ada dua kompetisi yang sama-sama mengklaim sebagai liga legal, yakni Liga Prima Indonesia (LPI) dan Liga Super Indonesia (LSI). Tak hanya itu, konflik pun kian meruncing saat sejumlah orang yang selama ini aktif dalam kepengurusan PSSI mendeklarasikan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) dengan memilih La Nyala Mataliti sebagai ketua.

Hingga akhirnya, terjadi pergeseran opini publik bahwa di Indonesia ada dua organisasi yang mengelola sepak bola, yakni PSSI di bawah pimpinan Djohar Arifin Husain dan KPSI di bawah komando La Nyala Mataliti. Untuk menyelesaikan perselisihan ini, sempat digelar pertemuan dan dibentuk Joint Comitte (JC). Tampaknya, semangat agar sepak bola bisa menjadi sarana pemersatu bangsa, bukan lagi sebagai sarana pemecah belah persatuan tinggalah isapan jempol.

Babak baru konflik PSSI pun dimulai. Dengan dalih wajib memenuhi permintaan FIFA, PSSI yang dipimpin Djohar Arifin Husain, Senin (10/12), menggelar Kongres Luar Biasa di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Pada KLB ini, juga disaksikan oleh perwakilan dari AFC, James Kitching dan Jeysing Muthiah dari FIFA.

Dari Palangkaraya, ada tiga keputusan penting yakni perubahan statuta PSSI, penyatuan dualisme kompetisi/liga dan pengembalian empat anggota Komite Eksekutif PSSI yang dipecat (La Nyalla Mattaliti, Toni Apriliani, Robert Rouw, dan Erwin Budiawan) dengan syarat MoU dibatalkan, dan mereka meminta maaf selambat-lambatnya satu bulan setelah KLB ini.

Sementara di sisi lain, di hari yang sama KPSI pimpinan La Nyala Mataliti juga menggelar kongres serupa di Hotel Sultan, Jakarta. Seperti biasa, kedua belah pihak sama-sama mengklaim KLB yang dilakukan adalah sah dan benar. Yang menarik dari kedua kongres tersebut adanya kesamaan agenda, yakni ingin penyatuan dualisme kompetisi/liga.

Terlepas misi apa yang mereka jalankan, namun ”perebutan kekuasaan” di persepakbolaan Tanah Air ini harus diakhiri. Kalau memang sudah enggak mau akur dan ingin selalu memaksakan kehendak dan mau menang sendiri, harusnya pemerintah segera turun tangan. Pemerintah harus segera mengambil alih PSSI dan membubarkan sekelompok orang yang mengklaim dirinya sebagai Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).

Opsi terakhir, ambil alih PSSI bubarkan KPSI merupakan harga mati agar konflik sepak bola bisa segera diakhiri. Meski di sisi lain ada FIFA sebagai induk organisasi dunia, namun dalam persoalan ini peran pemerintah sangat penting. Pemerintah harus berani ambil sikap, meski ada risiko lain seperti adanya sanksi dari FIFA terharap sepak bola Tanah Air. Sanksi adalah persoalan lain, fokus utama adalah menjadikan sepak bola sebagai sarana pemersatu bangsa.

Lantas setelah PSSI dibekukan dan KPSI dibubarkan, harus segera dibentuk sebuah badan yang bertugas menyelesaikan persoalan sepak bola. Namun badan penyelamat PSSI tersebut jangan sampai melibatkan mereka-mereka yang pernah terlibat dalam ”konflik” ini. Karena percuma, kalau mereka masih dilibatkan. Bisa-bisa hanya ganti baju, sementara badannya masih sama yakni untuk kepentingan kelompok mereka dan bukan lagi untuk kepentingan bangsa dan negara.

Ya, bola memang bundar dan kini semakin liar. Dan bola PSSI harusnya segera ditangkap oleh pemerintah. Bagaimanapun peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memainkan bola ini. Tentunya sebagai penggemar bola, sangat berharap pemerintah tidak menjadikan bola ini sebagai bola liar yang terus menerus diterpa masalah tanpa ada pangkal dan ujungnya.

Harusnya bulatnya bola bisa menjadi semangat bagi mereka yang dipercaya mengelola persepakbolaan Tanah Air untuk membulatkan tekad guna meraih prestasi demi nama baik bangsa dan negara. Kita butuh orang yang bisa menghidupkan sepak bola bukan orang yang menjadi hidup dari sepak bola.. Untuk itu, pemerintah harus pandai mengelola agar tidak menjadi bola liar. Ya, bola itu bundar kawan. Bola bisa menggelinding ke mana-mana…!!!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya