SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sejumlah anak bermain peran. Ada yang memerankan bebukitan gunung, hewan-hewan asli Merapi seperti macan, ulat, ayam, kambing dan lainnya.

Sebagian anak lainnya tampak bermain, terlena dengan sejumlah permainan modern seperti televisi, playstation, ponsel dan laptop. Saat bermain itu, mereka saling berebut, bertengkar hingga berselisih.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di tengah perselisihan, bencana datang melanda. Anak-anak laki-laki berkostum debu dan api yang menggambarkan awan panas, berlarian di tengah mereka. Musik berdentum, lampu berwarna merah, debu beterbangan. Porak poranda.

Ketika suasana kembali tenang, anak-anak perempuan menangis. Sebagian dari mereka bergerak mencari bantuan, hingga didapatkan potongan baju-baju bekas dan makanan. Tak disangka, bencana lain datang.

Musik kembali berdentum dengan lampu bersorotan kacau. Anak-laki-laki kembali berlari. Kali ini mereka mengenakan kostum bola-bola kecil di tubuhnya, kembali memporaporandakan anak-anak yang tengah sibuk mencari bantuan. Bagian ini adalah metafor dari banjir lahar dingin yang melanda ketika mereka belum sempat bangkit dari bencana erupsi. Kembali mereka mencari bantuan.

“Aku ingin menjadi gunung, yang menjadi sumber kehidupan”. “Aku ingin menjadi laut, yang penuh mutiara berkilai”. “Aku ingin menjadi bulan, yang menerangi kegelapan malam”. “Aku ingin menjadi bunga, yang mengharumkan taman istana”. Demikian suara-suara anak kecil itu berkumandang.

Semua bangkit, berjalan, kemudian menyanyi dan menari. Pelan namun pasti, keceriaan itu semakin terlihat dari raut muka dan tarian mereka. Hingga akhirnya, semua anak menari, menyanyi, tersenyum dan tertawa.

Panggung itu berubah menjadi arena menari anak-anak, dengan gaya dan polah seadanya, lepas tanpa beban.

Pentas Anak Merapi masih tersenyum membuktikan anak-anak korban bencana Merapi masih bisa tersenyum dan tertawa. Di panggung alam di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Sabtu (18/6) malam, anak-anak korban bencana itu bermain dan berekspresi lepas apa adanya.

Sebanyak 30 anak itu berasal dari sejumlah lokasi bencana Merapi, seperti Desa Sengi Dukun dan Krogowanan Sawangan yang terdampak erupsi Merapi, dan Desa Sirahan Salam, Desa Ngrajek Mungkid dan Desa Sanggrahan Blabak, yang terkena banjir lahar dingin.

Arswendo Atmowiloto menyebutnya sebagai jalan budaya. Ia dan seniman Magelang yang dimotori Sutanto Mendut, pemilik Studio Mendut, selama dua pekan terakhir mendekati, mengobrol dengan anak-anak korban bencana, mendampingi, dan mendengarkan apa yang mereka rasakan.

Pengalaman anak-anak inilah yang diekspresikan melalui bentuk puisi, lukisan dan bermuara pada pementasan berdurasi 30 menit malam itu.

“Kami membayangkan menjadi ‘Palang Merah Budaya’ yang bisa membantu dan bersama mereka yang sedang kesulitan, melalui kesenian,” tuturnya, usai menyaksikan acara tersebut.(Wartawan Harian Jogja/Nina Atmasari)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya