SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<p><strong>Solopos.com, JAKARTA -</strong> Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) menanggapi berita yang beredar di masyarakat pada laman online Deutsche Welle (DW) Indonesia berjudul Indonesia Akan Didera Gelombang Panas Mematikan. BMKG menyatakan berita tersebut tidaklah benar.</p><p>Dalam rilis yang diunggah di situs resmi <a href="http://news.solopos.com/read/20180418/496/911212/1-orang-meninggal-dunia-akibat-gempa-banjarnegara"><em>BMKG</em></a>, Jumat (21/4/2018), berita tersebut sebenarnya sudah pernah dimuat pada 20 Juni 2017 lalu. Artikel yang ditulis DW Indonesia didasarkan pada paper ilmiah Camilo Mora et al. (Univ. of Hawai) yang terbit di <em>Jurnal Nature Climate Change Juni 2017</em> lalu berjudul<em> Global Risk of Deadly Heat</em>.</p><p>Dijelaskan oleh <a href="http://news.solopos.com/read/20180418/496/911164/gempa-42-sr-guncang-pekalongan-terasa-hingga-banjarnegara">BMKG</a>, paper tersebut mengkaji naiknya risiko ketidakmampuan kapasitas tubuh manusia bertahan terhadap panas (thermoregulatory) akibat kenaikan temperatur perubahan iklim.</p><p>Kajian menggunakan data kasus kematian terkait gelombang panas (heat waves) dari tahun 1980 – 2014 dan menemukan 783 kasus kejadian gelombang panas berdampak kematian dari 164 kota di 36 negara. </p><p>Hasilnya, dengan menghitung indeks threshold global suhu harian udara permukaan dan kelembaban udara (RH) yang menjadi pemicu kematian pada kejadian gelombang panas ditemukan 30% penduduk Bumi saat ini terpapar threshold global suhu dan RH tersebut, setidaknya 20 hari dalam setahun.</p><p>Proyeksi iklim pada akhir abad ke-21 (2090-2100), dari 30% tersebut akan meningkat menjadi ~48% dibawah skenario penurunan drastis pengendalian emisi GRK (RCP2.6) dan ~74% di bawah skenario pertumbuhan emisi GRK tanpa pengendalian (RCP8.5).</p><p>Hal itu meningkatkan ancaman bagi kehidupan manusia akibat peningkatan suhu global dan berdampak besar bila GRK tidak dikurangi emisinya, meskipun saat ini belum tampak nyata dampaknya.</p><p>Pemberitaan <em>DW Indonesia</em> dengan judul yang bombastis dengan kesan terkonsentrasi pada dampak besar yang akan terjadi di Indonesia sebenarnya tidak cukup relevan dengan kajian ilmiah paper Mora et al tersebut. </p><p>Hal itu dikarenakan, selain <em>paper Mora et al</em> (2017) lebih membahas pada skala global dan tidak menyebut Indonesia secara spesifik, juga data kejadian gelombang panas yang dipakai sebagai dasar analisis dan pengambilan kesimpulan tidak ada satupun yang berasal dari Indonesia, sebagian besar data gelombang panas terjadi di Eropa dan Amerika Utara, sebagian kecil di India, China, dan Australia. (Indonesia tidak termasuk dari 164 kota 36 negara yang dikaji data gelombang panasnya dalam paper tersebut)</p><p>Lebih lanjut BMKG menjelaskan Indonesia belum pernah mencatat terjadinya gelombang panas yang berdampak kematian. Juga belum terdapat kajian dampak gelombang panas dengan menggunakan batas atas (threshold) suhu permukaan dan kelembaban udara tersebut terhadap fisiologi tubuh orang Indonesia (termasuk dalam paper ilmiah Mora et al, 2017).</p>

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya