Bisnis properti DIY terdampak perlambatan pertumbuhan ekonomi
Harianjogja.com, JOGJA-Belum stabilnya perekonomian mengakibatkan perlambatan bisnis properti. Pihak yang paling merasakan dampak dari kondisi ini adalah pengembang primer.
Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada
Wakil Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY Bidang Humas, Ilham Nur Muhamad menjelaskan, pengembang primer adalah perusahaan pengembang yang telah berbadan hukum PT. Sementara pengembang sekunder berdiri atas nama CV dan dapat juga dari pihak perorangan yang memiliki rumah dan dijual karena terdesak ekonomi.
Menurutnya, kesenjangan antara pengembang primer dan sekunder tinggi. “Dari sisi penjualan, [penjualan properti dari] pengembang primer turun sampai 30 persen. Kalau sekunder ada penurunan tapi tidak terlalu banyak,” kata Ilham tanpa menyebutkan angkanya, Senin (15/8/2016).
Kesenjangan ini terjadi karena pemerintah tidak punya dasar untuk menghentikan aktivitas jual beli rumah langsung dari pihak perorangan. “Aturannya membolehkan. Masak orang mau jual asetnya sendiri nggak boleh,” ujarnya.
Ilham mengatakan, pengembang sekunder atau perorangan banyak menyuplai kebutuhan hunian. Namun di sisi lain, pasar sekunder hanya memberi pemasukan yang relatif kecil untuk negara. Ia mengatakan, sejak perolehan pertama kali, pengembang primer sudah dikenakan Daftar Pengenaan Pajak (DPP) yang tinggi.
Kondisi ini berakibat pada pembayaran pajak yang tinggi, seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di akhir serah terima konsumen.
Pengembang primer juga harus memberi pemasukan kepada pemda berupa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). “Kalau sekunder sama, tapi dikurangi PPN. Tetapi kenyataannya, banyak modus jual beli melalui broker yang tidak menyumbang kontribusi sedikit pun untuk pemasukan negara,” jelasnya.
Banyaknya perizinan yang harus diikuti pengembang primer juga membuat biaya yang dikeluarkan semakin tinggi. Setidaknya untuk menyelesaikan proses perizinan dibutuhkan waktu paling cepat 24 bulan.
“Aturannya kita mengikuti aturan yang mewajibkan kami. Mulai pembagian kavling, pengaturan fasum fasos, kalau lebih dari tiga lantai ada pengaturan ketinggian jalur penerbangan, sampai penyerahan fasum fasos ke negara,” tuturnya.
Sementara, pengembang sekunder hanya memenuhi kewajiban minimal dan koifisien dasar bangunan (KDB).
Banyaknya persyaratan yang harus dilalui pengembang primer membuat biaya yang harus dikeluarkan semakin besar. Hal ini mengakibatkan harga unit rumah yang ditawarkan ikut tinggi. Ia berharap agar penjualan properti dari pengembang primer dapat kembali pulih tahun ini.