SOLOPOS.COM - BISNIS MENJANJIKAN -- Abdul Muid Badrun (kiri), pemilik gerai parfum Adora Parfums di kawasan dekat Kampus UMS, Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, bersama salah satu karyawannya di tokonya. (JIBI/SOLOPOS/Adib Muttaqin Asfar)

Bicara soal parfum, mungkin yang lebih banyak terbayang adalah produk dengan merk-merk terkenal yang harganya selangit. Namun bukan berarti jika anggaran cekak kita tak bisa menikmati aroma parfum. Silakan tengok di sekitar kita, cukup gampang kita temukan gerai yang menjual aneka parfum dengan harga yang tak bikin kantung bolong.

Di kawasan dekat kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) di Pabelan, Kartasura, Sukoharjo misalnya, ada kios parfum yang banyak didatangi para mahasiswa. Cukup dengan selembar uang Rp 10.000 pembeli bisa mendapatkan parfum yang disukainya dalam botol berkapasitas 10 mililiter. Meskipun harganya miring, bukan berarti parfum-parfum ini kalah kualitas dibandingkan parfum-parfum mahal. Justru dengan membeli parfum di kios parfum isi ulang, para pembeli mengaku punya kebebasan menentukan jenis parfum sesuai keinginan.

Pemilihan bukan hanya berdasarkan merek, melainkan aroma dari botol sampel yang dipajang di depan toko. Pembeli juga bisa memilih kekentalan kadar konsentrat parfum sesuai yang diinginkan. Inilah yang membuat bisnis penjualan parfum isi ulang menjadi laris manis. Karena harganya yang sangat terjangkau, parfum isi ulang laku keras di kalangan anak-anak kos dan kawasan sekitar kampus.

“Dulu waktu saya pertama kali membuka kios di sekitar UMS, belum ada toko-toko lain yang menjual parfum isi ulang. Sekarang sudah ada banyak di kawasan ini,” kata Abdul Muid Badrun, pemilik Adora Parfums, kompleks kios utara Kampus I UMS. Badrun sudah memulai bisnis parfumnya sejak 2007 lalu. Waktu itu usahanya masih menggunakan nama Origin yang menjual busana muslim dan parfum. Dia melihat sendiri bagaimana bisnis parfum pelan-pelan naik daun di kawasan sekitar kampus.

Makin luas
Semakin banyaknya pendatang baru dalam bisnis parfum di kawasan kampus sebenarnya membawa dampak bagi usahanya. Saat bisnis parfum masih langka di kawasan itu, Badrun bisa menjual parfum seharga rata-rata Rp 3.000/ml. Namun karena semakin banyak pemain baru, kini harga parfum tersebut turun harga hingga menjadi Rp 2.000/ml.

Meski demikian Badrun mengaku tidak mempermasalahkan hal itu. Kini usaha parfumnya justru sudah berdiri sendiri dan terpisah dari usaha busana muslimnya. Dia justru yakin dengan masa depan usaha parfumnya karena pasarnya justru semakin luas. Dia tidak hanya menjualnya di kios karena kini ada banyak mahasiswa yang menjadi agen parfumnya.

Ratih, pemilik Omah Parfum di kawasan Jalan Menco, Gonilan, Kartasura, di utara kompleks UMS dan Pondok Pesantren Modern Assalaam, bahkan mengaku punya pasar yang makin luas. Pelanggannya kini bukan hanya mahasiswi, melainkan para pedagang parfum dari luar kota. Dia mengaku tidak menyangka kalau tokonya kini menjadi tempat kulakan para pedagang.“Bahkan ada yang dari Kalimantan mengambil bibit parfum di sini. Entah mereka bisa tahu dari mana, mungkin dari mulut ke mulut yang mengatakan harga di sini murah,” terangnya.

BISNIS MENJANJIKAN -- Abdul Muid Badrun (kiri), pemilik gerai parfum Adora Parfums di kawasan dekat Kampus UMS, Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, bersama salah satu karyawannya di tokonya. (JIBI/SOLOPOS/Adib Muttaqin Asfar)

Sebelum mendirikan usaha parfum dan busana muslimnya empat tahun lalu, Abdul Muid Badrun mengaku mendapat inspirasi dari kekagumannya. Ceritanya saat itu dia sedang berkunjung ke Bandung. Di salah satu sudut kota dia melihat sebuah toko yang begitu padat pengunjungnya. “Di sana pengunjungnya antri seperti antrian sembako. Setiap baris antriannya bisa mencapai 10 meter, itu membuat saya kagum,” kenang Badrun.

Modal usahanya berasal dari patungan dengan seorang rekannya sejumlah Rp 36 juta. Uang tersebut dipakai untuk membeli berbagai komoditas parfum dan busana muslim serta kontrak kios selama dua tahun. Waktu itu belum ada pesaing usaha sejenis di kawasan tersebut dan bisnis parfum di kalangan mahasiswa belum menjadi tren. Namun itulah yang digarap Badrun karena dari awal dia memang sengaja hendak menggarap pasar pinggiran. “Ibaratnya saya gerilya menggarap pinggiran dulu karena pasar kampus selalu ada kemajuan,” katanya.

Lain lagi ceritanya dengan Ratih saat memulai usaha parfumnya awal tahun ini. Meski sebelumnya belum pernah bergerak dalam bisnis ini, Ratih sudah cukup memiliki modal berharga. Modal itu berupa pengalaman suaminya yang juga bergerak dalam bisnis parfum. Perempuan berkerudung ini tergerak untuk mencoba terjun dalam bisnis parfum isi ulang setelah melihat peluangnya yang cukup besar. Karena sudah memiliki jaringan dengan seorang importir, dia pun bisa menjual produk parfum dengan harga yang sangat kompetitif. “Saya memang mengambilnya langsung dari importer, bukan dari tangan kedua. Jadi bisa menjual dengan harga murah di sini,” katanya.

Meskipun setiap konsumen bisa memesan parfum dengan kandungan sesuai keinginan mereka, faktor kejujuran tetap menjadi hal penting. Menurut Badrun, konsumen tidak akan tahu berapa persen komposisi konsentrat dan pelarut berikut kualitas yang sebenarnya. Kejujuran toko parfum baru teruji setelah konsumen merasakan parfum yang dibelinya itu belakangan. “Ini bisnis kejujuran, tetap saja konsumen tidak ada yang tahu kompisisinya,” katanya.

Adib Muttaqin Asfar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya