SOLOPOS.COM - Seorang petugas Dinas Perhubungan sedang mengatur lalu lintas truk angkutan barang di Klaten, Jawa Tengah, belum lama ini. Banyaknya biaya yang harus dibayar oleh pengusaha logistik dalam perjalanan, baik biaya resmi maupun tak resmi menjadikan industri ini menanggung bebab berat sehingga tidak kompetitif. (JIBI/SOLOPOS/Shoqib Angriawan)

Seorang petugas Dinas Perhubungan sedang mengatur lalu lintas truk angkutan barang di Klaten, Jawa Tengah, belum lama ini. Banyaknya biaya yang harus dibayar oleh pengusaha logistik dalam perjalanan, baik biaya resmi maupun tak resmi menjadikan industri ini menanggung bebab berat sehingga tidak kompetitif. (JIBI/SOLOPOS/Shoqib Angriawan)

Seorang petugas Dinas Perhubungan sedang mengatur lalu lintas truk angkutan barang di Klaten, Jawa Tengah, belum lama ini. Banyaknya biaya yang harus dibayar oleh pengusaha logistik dalam perjalanan, baik biaya resmi maupun tak resmi menjadikan industri ini menanggung bebab berat sehingga tidak kompetitif. (JIBI/SOLOPOS/Shoqib Angriawan)

Solopos.com, JAKARTA — Masih adanya biaya tak terduga yang harus dikeluarkan dalam proses distribusi barang terutama sektor transportasi darat dinilai menghambat efisiensi logistik.

Promosi BRI Catat Setoran Tunai ATM Meningkat 24,5% Selama Libur Lebaran 2024

Direktur Pusat Pengkajian Logistik dan Rantai Pasokan Institut Teknologi Bandung (ITB), Senator Nur Bahagia mengatakan keluhan itu masih dirasakan oleh para pelaku usaha logistik sampai saat ini. Persoalan pungutan di jalan masih menjadi salah satu kendala dalam sistem logistik nasional. Menurut dia salah penyebab pungutan itu terjadi akibat paradigma yang salah dari pemimpin daerah yang justru menargetkan pemenuhan pendapatan asli daerah (PAD) melalui sektor angkutan barang.

“Ini menjadi persoalan besar, kita belum bisa menghilangkan illegal cost di jalan, yang bisa sementara dilakukan adalah meminimalisir cost tersebut pada titik terendah, ini mengganggu efisiensi,” katanya dalam seminar logistik yang digelar Bank Dunia di Jakarta, Rabu (20/11/2013). Salah satu solusi, katanya, yakni penguatan sistem informasi sehingga bisa memantau secara transparan proses distribusi barang dari gudang hingga di lapangan. Selain itu, segala peraturan daerah terkait dengan hal tersebut bisa ditinjau kembali oleh kepala daerah.

Project Officer Unit Ekonomi dan Tata Kelola Daerah Asia Foundation, Hari Kusdaryanto mengatakan pihaknya bekerja sama dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI dan Bank Dunia dalam melakukan kajian Studi Logistik Angkutan Darat. Studi itu mengkaji biaya transaksi alias transaction cost di beberapa pulau di Indonesia di antaranya Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Studi ini muncul akibat adanya pungutan resmi dan tidak resmi yang mengakibatkan biaya logistik menjadi tinggi.

Berdasarkan studi pada 2007 itu, masih ditemukan pungutan di sejumlah rute yang menjadi bahan kajian. “Jadi peneliti kami ikut serta di dalam truk, semacam investigasi, mencatat saat truk itu diberhentikan oleh aparat, ada beberapa rute yang kami teliti,” katanya. Salah satu kasus, sebuah truk dengan perjalanan 5 jam rute Parepare-Makassar bahkan diberhentikan hingga lebih dari 10 kali. Di antaranya pungutan oleh pemda, jembatan timbang, polisi termasuk oleh organisasi masyarakat. “Jumlahnya memang tidak seberapa tetapi diberhentikan berkali-kali jelas mengganggu efisiensi. Hanya saja, katanya, terkait dengan retribusi oleh pemda saat ini banyak berkurang setelah keluarnya UU No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di mana pemerintah membatasi perda perda tentang pungutan.

Penegakan Hukum Lemah
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Masita mengatakan hidden cost bukan persoalan baru tetapi sudah terjadi selama ini. Diperkirakan, katanya, dana laten tersebut bisa mencapai 8% dari seluruh beban logistik yang ada. “Secara porsi hidden cost ini memang kecil 8% dari semua cost, tapi memang ini berpengaruh juga. Di luar hidden cost ini ada persoalan besar terkait dengan logistik nasional kita, perlu ada perbaikan,” katanya.

Di sisi lain, Ketua Umum DPP Organda Eka Sari Lorena mengatakan hidden cost itu akibat lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Selain itu, tidak padunya pemerintah pusat dan daerah juga mengakibatkan adanya lubang yang bisa dimanfaatkan oleh oknum untuk menarik keuntungan dari rantai distribusi. “Kalau law enforcement ada tentu tidak ada terjadi hidden cost. Sejak otonomi daerah diberlakukan memang ada celah yang dimanfaatkan dalam hal ini,” katanya.

Lebih lanjut Senator mengatakan sejak 2004-2011 biaya logistik Indonesia masih berada pada level yang cukup tinggi karena mencapai 26% dari GDP. Meski memiliki ceruk pasar begitu besar, tetapi banyak kendala yang menghambat pertumbuhan logistik nasional.

Dia mengatakan terdapat enam faktor pendorong dalam sistem logistik yakni komoditas, transportasi, infrastruktur, penyedia logistik dan jasa logistik, IT dan infrastruktur IT, sumber daya manusia, dan regulasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya