SOLOPOS.COM - PotretSujatin Kartowijono, sosoknya menjadi penggagas diselenggarakannya Kongres Perempuan di Indonesia

Solopos.com, JAKARTA–Peristiwa Kongres Perempuan tak lepas dari dukungan dari berbagai tokoh peregerakan perempuan.

Salah satunya adalah Sujatin Kartowijono. Sujatin merupakan perempuan kelahiran Wates, Yogyakarta, 9 Mei 1907. Nama besarnya tak lepas dari jasa ayahnya, Mahmud Joyohadirono.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Melansir dari uinbanten.ac.id Ayah Sujatin merupakan seorang karyawan Staats Spoor Wegen asal Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.

Pekerjaannya di bidang transportasi kereta api membuatnya sering berpindah dari satu kota ke kota yang lain untuk melaksanakan tugas.

Diceritakan pada masanya bertugas Joyohadirono singgah paling lama di sebuah desa yang menghubungkan Kroya dan Yogyakarta di Jawa Tengah. Di sana, Joyohadirono mendirikan Budi Utomo.

Joyohadirono memang dikenal sebagai sosok yang gemar membaca dan aktif dalam organisasi. Tak heran jika apa yang dibawanya juga sampai kepada putra-putrinya.

Sedangkan ibu Sujatin, R.A. Kiswari merupakan cucu bupati Ngawi, Sumonegoro. Sayangnya, karena ketidakmampuan Ibunya dalam membaca dan menulis membuatnya tak suka dengan kegemaran Sujatin yang diturunkan dari ayahnya, yakni membaca.

R.A. Kiswari berharap agar putrinya sama dengan anak-anak perempuan lain yang pada umumnya gemar memasak. Hal tersebut membuat Sujatin melakukan hobinya dengan sembunyi-sembunyi untuk menghindari kemarahan ibunya.

Meskipun mendapat larangan dari Ibunya, Sujatin merasa bahwa pendidikan merupakan faktor pendukung yang sangat penting bagi perempuan agar dapat mandiri dan berdaya saing. Menurutnya, seorang Ibu yang berpendidikan memiliki kapasitas lebih untuk dapat mendidik anak-anaknya dengan baik.

Sujatin menempuh pendidikannya di Hollands Inlandsche School (HIS) di Kebumen, Jawa Tengah. Pada masa itu tak banyak siswa yang dapat bergabung untuk sekolah. Karena hanya anak orang mampu, terpandang, dan pegawai negeri yang mampu menyekolahkan anaknya saat itu.

Terdapat kisah menarik di masa sekolah Sujatin. Saat duduk di bangku kelas 3, Sujatin mendapat cerita dari kakaknya tentang kisah kelahirannya dulu. Ayahnya sempat kecewa karena ternyata Sujatin lahir sebagai anak perempuan, bukan laki-laki.

Mendengar cerita tersebut, Sujatin semakin semangat untuk berprestasi. Ia yakin bahwa perempuan juga dapat berkembang bahkan memberikan jasanya bagi dunia.

Sebagai salah satu penggemar tulisan R.A. Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, Sujatin berkeinginan kuat untuk melanjutkan cita-cita Ibu Kartini.

Di kelas 5, keluarga Sujatin harus pindah ke Yogyakarta. Iapun melanjutkan sekolahnya ke Europeese Lagere Meisjes School (ELS). Pada 1922 Sujatin meneruskan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Lepas dari situ, Sujatin yang bercita-cita melanjutkan pendidikan ke Rechts School Yogyakarta harus mengubah keinginannya karena tak mau membebani orang tuanya. Sujatin kemudian melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru.

Sejak muda, Sujatin terbilang aktif dalam kegiatan organisasi. Ia pernah tergabung pada organisasi Jongjava pada 1922 saat masih 15 tahun. Di sana, Sujatin aktif menulis untuk majalah Jong Java. Ia dikenal sebagai penulis dengan nama samaran yakni Garbera.

Pada tulisan yang dibuatnya, Sujatin menekankan terkait keadilan bagi perempuan agar dapat berdiri sendiri dan maju.

Pada 1923 saat peringatan 25 tahun Ratu Wilhelmina bertahta, terdapat peringatan besar-besaran di seluruh Hindia Belanda. Hampir seluruh organisasi bergabun termasuk Jong Java. Dalam kegiatan tersebut, Sujatin beruntung karena dapat memerankan tokoh R.A. Kartini yang menjadi idamannya.

Usai menamatkan sekolah guru, Sujatin mengajar di Sekolah Rakyat. Pada 1926, ia dan beberapa guru lainnya mendirikan perkumpulan wanita yang diberi nama Putri Indonesia. Sujatin terpilih menjadi ketuanya.

Sujatin dan perannya dalam Kongres Perempuan

Pada 1928, Sumpah Pemuda sukses digaungkan dan menyatukan semangat nasionalisme para pemuda. Dari situ Sujatin bersama perkumpulannya melahirkan gagasan untuk menyatukan seluruh perempuan bumi putera.

Untuk dapat mewujudkannya, Sujatin mendatangi perempuan-perempuan dari kalangan atas seperti Nyi Hajar Dewantara dan R.A. Soekonto. Iapun mendapat dukungan besar untuk menyelenggarakan kongres.

Sujatin yang kala itu masih menjabat sebagai ketua Putri Indonesia didaulat menjadi ketua pelaksana kongres.

Panitia Kongres Perempuan Indonesia I saat itu adalah R.A. Siti Aminah Sukonto yang menjadi ketua kongres dan R.A. Sutartinah (Nyi Hajar Dewantara) dari Taman Siswa sebagai wakil ketua kongres. Agenda Kongres Perempuan I dilaksanakan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928.



Kongres tersebut sukses menjadi tonggak sejarah perjuangan perempuan untuk kali pertama di Indonesia. Dalam pidatonya, Nyi Hajar Dewantara menutup sambutannya dengan tembang Witing Kelopo. Tembang tersebut melambangkan wanita sebagai makhluk yang mampu mengatur masyarakat.

Dalam Kongres tersebut, bendera merah putih dikibarkan, lagu Indonesia Raya pun digemakan. Saat itu, sebagai ketua kongres seharinya R.A. Siti Aminah Sukonto memberikan sambutan. Namun, dia mendelegasikannya pada Sujatin.

Menurut Siti Aminah, pidato sambutan saat itu harus disampaikan dalam bahasa Indonesia agar seluruh hadirin dapat memahami. Sedangkan Sujatin dalam kesehariannya menggunakan bahasa Belanda. Iapun secara khusus mempersiapkan isi pidatonya yang kemudian dikonsultasikan kepada Nyi Hajar Dewantara.

Kongres Perempuan I menghasilkan beberapa keputusan diantaranya adalah upaya membangkitkan rasa nasionalisme, menyatukan pergerakan perkumpulan perempuan, serta membentuk Perikatan perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).

Kesuksesan tersebut berlanjuta pada Kongres Perempuan Indonesia II yang diselenggarakan di Batavia. Kongres tersebut mendapat pengawasan yang ketat dari polisi Belanda karena saat itu Ir Soekarno ditangkap ketika berada di Yogyakarta.

Pada 1945, sebuag organisasi Wanita Negara Indonesia (Wani) didirikan di Jakarta. Sujatin pun turut bergabung dalam organisasi tersebut. Hingga pada tahun 1946, Sujatin ditunjuk menjadi ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) pada peristiwa Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari).

Perjuangan Sujatin masih terus berlanjut hingga masa tuanya. Namun, Sujatin wafat di usia 76 tahun karena penyakit gula yang dideritanya.

Jenazahnya dimakamkan di Tempat Permakaman Umum Tanah Kusir Jakarta Selatan. Sebelum dimakamkan, Sujatin mendapat penghormatan terakhir di Panti Trisula. Tempat tersebut merupakan sebuah bangunan yang didirikan oleh Perwari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya