SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO–Awal tahun ini jadi momentum krusial bagi sejumlah orang tua. Saatnya mereka menentukan pilihan tempat buah hatinya menimba ilmu. Sejumlah sekolah swasta sebentar lagi bakal membuka pendaftaran. Sementara aturan zonasi mulai diberlakukan di sekolah negeri.

 Seperti yang dilakoni Pipit. Ibu dua anak ini, putri bungsunya duduk di bangku kelas enam dan bakal tamat sekolah dasar. Ia sempat khawatir dengan kebijakan pemerintah yang sebelumnya memberikan “akses khusus” bagi siswa pemilik surat keterangan tidak mampu (SKTM) saat pendaftaran peserta didik baru (PPDB) online periode lalu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

 “Semoga benar-benar dihapus. Biar adil. Anak yang sudah usaha dapat nilai bagus bisa masuk sekolah yang bagus juga. Tempo hari banyak sekali orang tua yang pura-pura miskin agar anaknya keterima. Mereka enggak memikirkan anak yang benar-benar sudah mempersiapkan belajarnya tanpa SKTM enggak dapat sekolah impiannya,” katanya ketika berbincang dengan Solopos.com, Rabu (2/1/2019).

Setelah wacana penghapusan kebijakan SKTM bergulir, Pipit kini dibuat gamang dengan kebijakan zonasi yang mulai diterapkan. “Oke kalau tujuannya biar pendidikan lebih merata, tidak ada sekolah favorit. Tapi jadi bingung juga nanti kalau nilai bagus tapi dapat sekolah biasa saja karena zonasi,” ujar dia.

Dari awal sebelum adanya kebijakan SKTM dan sistem zona diterapkan, Pipit lebih dulu berkomunikasi dengan buah hatinya. Dari obrolan tersebut, putrinya ingin melanjutkan pendidikan di SMP Negeri bereputasi bagus di Kota Bengawan. “Kalau buat kami, akses bukan yang utama. Ada sekolah dekat rumah, tapi anakku enggak minat. Karena menurut dia seni tarinya tidak maju. Padahal anakku talentanya di bidang seni tari,” ujar dia.

 Menurut Pipit, sekolah merupakan sarana untuk mengantarkan anak-anaknya meraih cita-cita. “Sebetulnya sekolah itu sama saja. Cuma perkembangan sekolah ada yang mendukung minat anak atau tidak. Ditunjang juga dengan anaknya dan dukungan orang tua,” terangnya.

Pengalaman lain dilakoni, Astuti. Ibu dua anak ini mulai menyiapkan tempat menimba ilmu bagi anak bungsunya yang berusia satu tahun. Kendati masih ada waktu dua tahun, ia berkaca pada pengalamannya mengirimkan buah hati sulungnya ke taman bermain. “Dulu anak sulungku masuk ke kelompok bermain plus penitipan dari umur tiga tahun. Si kecil juga kemungkinan besar aku kirimkan ke sana saat umurnya sudah tiga tahun atau menunggu anaknya siap sekolah,” tuturnya.

Menurut Astuti, karakter kedua buah hatinya relatif mirip. Oleh karenanya ia merasa tempat sekolah anaknya terdahulu sudah pas bagi si kecil. “Tempatnya nyaman dengan fasilitas lengkap. Ada pendidikan agamanya. Dekat dari rumah, mendukung kami yang sama-sama harus mengantor dari pagi sampai sore,”ujarnya.

Sedangkan saat memilih sekolah dasar, Astuti punya pertimbangan lain yang lebih njelimet ketimbang saat mencari kelompok bermain atau taman kanak-kanak. “Fullday-nya masih sama. Tapi kalau SD perlu juga mencari yang akreditasinya bagus. Selain itu biaya juga harus dalam jangkauan kami biar sesuai dengan pendapatan keluarga,” kata dia.

Astuti sependapat jika sekolah di Solo menerapkan sistem zona. Menurut dia, lokasi sekolah anak patut jadi pertimbangan mengingat lalu lintas di Kota Bengawan mulai padat. Sedangkan mobilitas anak selain ke sekolah juga butuh menambah kegiatan lain di luar belajar. “Jarak sekolah perlu dipertimbangkan banget. Karena kalau terlalu jauh, pastinya kemrungsung setiap pagi. Belum lagi kalau harus geser ke tempat les atau ikut sanggar atau belajar yang lainnya. Makanya aku pilih SDIT dekat rumah saja yang secara kualitas cukup bagus, terjangkau, dan masih anak masih ada waktu sisa untuk kegiatan lain,” ujarnya.

 

Pentingnya Menimbang Aspek Relasi Murid dengan Guru

Iklim pendidikan saat ini jamak menilai keberhasilan studi anak ditakar dari hasil ujian mereka. Padahal sudah banyak bukti ilmiah menyoroti dampak buruk dari menguji standar kualitas pendidikan dengan ujian semata. Agar tak terjebak konsep menyesatkan melihat sekolah sebagai tempat mencari nilai terbaik semata, Jurnal terbitan International Studies In Sociology of Education seperti yang dilansir The Conversation patut jadi pertimbangan orang tua saat memilih sekolah untuk buah hatinya.

Dalam jurnal tersebut, disampaikan dampak buruk dari budaya sekolah yang berorientasi pada nilai ujian bagus bisa berdampak fatal pada identitas anak. Padahal aspek terpenting dari kehidupan sekolah adalah relasi yang dibangun anak dengan guru dan teman. Bagi anak-anak, pertemanan yang aman dan berkelanjutan terkait dengan perasaan percaya diri dan harga diri. Anak-anak juga bisa lebih beradaptasi dengan sekolah dan membentuk nilai positif di sekolah yang berguna bagi modal mereka menghadapi tantangan zaman.

Sekolah yang mendukung anak-anak belajar menjalin pertemanan dan hubungan sosial dengan sekitar dapat menjadi sarana mengajarkan kehidupan dan pelajaran sosial. Pada akhirnya, tempat menimba ilmu tersebut menjadi sarana ideal mengasah potensi mereka.

Mengingat pentingnya aspek pertemanan dekat yang dibina pada masa sekolah bisa jadi modal sosial mereka, orang tua perlu menimbang sejumlah faktor di luar prestasi sekolah, biaya pendidikan, jarak dari rumah ke sekolah, sampai jenis ekstrakulikulernya. Pertimbangan bisa mulai dilakukan saat berkunjung ke sekolah incaran. Berikut beberapa di antaranya:

 Amati Gaya Berkomunikasi

Coba bicara dengan kepala sekolah atau tim manajemen setempat. Di situ kita bisa menakar bagaimana institusi itu bisa menjadi menjadi panutan bagi buah hati. Lihat cara mereka berinteraksi dengan staf dan anak-anak. Apakah mengenal anak-anak sebagai individu dan memahami latar belakang mereka? Ini semua penting untuk memberikan gambaran apakah konsep sekolah setempat sesuai dengan pertimbangan kita.

 Perhatikan Relasi Antaranak

Terdapat penelitian yang menunjukkan perbedaan umum antara grup pertemanan anak perempuan dan laki-laki. Anak laki-laki cenderung membentuk kelompok sosial luas dan berbeda. Sedangkan anak perempuan lebih membentuk kelompok yang anggotanya punya kemiripan satu sama lainnya, di sinilah pengucilan kerap terjadi. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, kita bisa melihat interaksi anak-anak dengan sebaya maupun orang dewasa di kelas atau sekolah. Amati juga bagaimana mereka bekerja sama. Apakah ada praktik pengelompokan berdasarkan pertimbangan tertentu seperti gender.

 Pola bermain

Tempat menimba ilmu krusial membentuk pengalaman anak tentang sekolah. Tak cuma saat belajar, cara anak-anak di sekolah menghabiskan waktu istirahat juga jadi indikator nyata bagaimana anak-anak berinteraksi. Lewat cara tersebut, ikatan emosional dan respons anak-anak terbentuk. Taman bermain sebagai salah satu fasilitas di sekolah juga memainkan peran penting dalam proses ini.

 Kesejahteraan emosional

Pertemanan dan hubungan sosial signifikan mempengaruhi perasaan anak terhadap konsep inklusi dan eksklusi di sekolah. Penting bagi orang tua mempertimbangkan bagaimana sekolah menyediakan kesejahteraan emosional dan sosial bagi muridnya. Perhatikan bagaimana sekolah menangani anak-anak yang kesulitan berteman atau menjalin persahabatan. Pertanyakan juga apakah anak-anak punya model bermain bersama, belajar bergiliran, sampai berbagi? Bagaimana misi dan filosofi sekolah untuk pembelajaran? Sampai sumber daya apa saja yang bisa mendukung konsep tersebut?



 Perhatikan pajangan dinding sekolah

Pajangan dinding di sekolah secara instan memberikan indikasi bagaimana nilai-nilai di sekolah dipraktikkan. Dari situ terlihat bagaimana anak-anak dikelola seperti memberikan tembok khusus penghargaan untuk anak-anak, bukan sekadar prestasi akademis tapi juga anak-anak yang sudah berhasil mempraktikkan nilai sosial dan moral ajaran sekolah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya