SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Saat membaca karya fiksi tentang kemalangan seseorang, ketidakadilan, kemiskinan, atau kejahatan melawan kebaikan, ada sesuatu di dalam diri saya yang tiba-tiba saja bergolak.

Sulit menggambarkan keriuhan jiwa itu kecuali pada tanda-tanda yang tampak, seperti air mata saya yang tiba-tiba menetes dan baru terhenti ketika sampai di halaman terakhir atau saat tokoh cerita mendapatkan keadilan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketika sampai tahap itu perasaan saya akhirnya berhenti bergejolak, berganti menjadi kelegaan luar biasa. Aksi kelompok intoleran dalam pengajian midodareni di Mertodranan, Pasar Kliwon, Kota Solo, pada 9 Agustus 2020 lalu, berhasil memicu keriuhan yang sama dalam diri saya.

Polisi telah menangkap dua orang dari kelompok intoleran yang merusak acara pengajian midodareni itu dalam waktu kurang dari 24 jam setelah kejadian, namun kelegaan tak juga hadir dalam jiwa saya seperti saat membaca cerita fiksi.

Saya masih tetap merasakan kerusakan sosial yang terjadi akibat peristiwa tersebut. Kegelisahan itulah yang membuat saya bertekad menghadirkan narasi berbeda tentang hubungan manusia di media. Hasilnya adalah berita mengenai Filosofi Ampyang di Sudiroprajan yang terbit pada Minggu, 16 Agustus 2020.

Ampyang adalah makanan tradisional Jawa yang terdiri atas gula merah dengan perpaduan kacang tanah. Menurut warga Kampung Kepanjen, Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota Solo, ampyang menggambarkan pernikahan warga Tionghoa dengan orang Jawa.

Rasa ampyang yang unik--manis sekaligus gurih--menunjukkan bersatunya kekuatan dua budaya yang berbeda. Jamak dalam sebuah ”keluarga ampyang” anggotanya memeluk agama yang berbeda-beda, ada yang Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan lainnya.

Keindahannya adalah mereka yang berbeda keyakinan itu hidup dalam satu atap, sebuah rumah yang dinaungi pelangi. Cerita Ketua RW 005 Kelurahan Sudiroprajan, Rutniasih, saat mengenang aksi wong Jawa yang menjaga gang-gang di Kampung Kepanjen pada kerusahan Mei 1998 lalu agar para perusuh tak mengganggu warga etnis Tionghoa bisa meredakan kegelisahan saya.

Kata-katanya membuat saya tersenyum karena ikut membayangkan para laki-laki Jawa melindungi istri, anak, atau kerabat mereka yang etnis Tionghoa agar terlindung dari marabahaya.

Cerita Rutniasih sangat nikmat. Meski ia hanya menyebut keunikan ampyang sebagai simbol keunikan akulturasi Jawa-Tionghoa. Cerita itu berhasil mengajak saya menjelajahi dunia makna dengan konteks yang lebih luas.

Bahan pembuat ampyang, gula merah yang manis dan kacang tanah yang gurih, adalah dua entitas berbeda. Sama sekali tak punya kemiripan karakter. Saya tak bisa membayangkan dua entitas itu saling menilai dan mengunggulkan diri.

Gula merah merasa lebih bagus ketimbang kacang tanah, demikian pula sebaliknya. Dua-duanya hanyalah bagian dari makanan yang disebut ampyang. Manusia sama saja. Bagaimana kita bisa memiliki pemahaman bahwa poros dunia adalah manusia dan bahwa kematian adalah akhir segalanya?

Itu seperti gelombang besar perasaan sombong yang takut hancur karena batu karang di pantai sementara dia hanyalah bagian dari lautan. Saya mengutip perumpamaan itu dari materi kuliah kehidupan Prof. Morrie kepada mahasiswanya, Mitch Albom, seorang penulis.

Tidak Sempurna

Bagaimana kesedihan daun kering yang jatuh ke tanah–seakan-akan semuanya berakhir–padahal dia adalah penyambung kehidupan untuk daun baru yang lain, yang hijau, yang membuat sebatang pohon tegak berdiri?

Saya menggunakan term menyambung untuk menekankan sebuah konektivitas, alur, dan tentu saja pertanggungjawaban. Manusia hanyalah bagian kecil dari kehidupan yang terdiri atas manusia lain, hewan-hewan, gunung, gurun, sungai, dan masih banyak lagi lainnya.

Realitas semesta belum pernah kita ketahui, kecuali dari berbagai kepingan fakta empiris yang bisa ditangkap indra, nilai-nilai moral, serta sepotong kecil pemahaman yang menghubungkan dunia makna dengan siginifikansi kehidupan kita.

Pantaskah kita merasa menjadi pusat atas segala sesuatu, lebih-lebih pusat kebenaran? Pengembang teori psikoanalisis, Carl Gustav Jung, memberi saya pencerahan lebih mendalam mengenai keberadaan manusia dalam alam semesta.

Dua kata kunci pemikiran Jung dalam buku Memories, Dream, Reflections yang berhasil saya tangkap adalah ketidaksempurnaan dan konflik. Dunia adalah ciptaan Tuhan yang diterjemahkan manusia dalam banyak tragedi konflik, saling tindas, dan saling bunuh antarpenghuninya.

Akarnya adalah ketidaksempurnaan pemikiran manusia dalam mengekspresikan kebebasan. Di sisi lain, dunia juga memberikan gambaran tentang sikap saling menyayangi dan mengasihi.

Dua oposisi inilah yang membentuk dunia, realitas yang belum kita pahami secara benar, yang terbentuk antara ekspresi keburukan dan kebaikan. Sekali lagi ketidaksempurnaan.

Jadi, sungguh saya sulit menerima saat ada seseorang yang berpikir bahwa segala aspek hidupnya sangat sempurna sehingga dia atau mereka paling benar sementara orang lain salah.

Bukankah otak kita sangat jauh dari sempurna untuk memahami konsep keabadian melalui proses hidup dan mati dalam kesatuan kosmos di dunia Tuhan?

Saat kecenderungan merasa paling beriman, paling patuh, paling baik, dan paling-paling lainnya itu muncul, barangkali kita perlu belajar dari pohon sebagai manifestasi keduniawian tentang ”dunia Tuhan”.



Pohon, menurut Jung, adalah entitas yang paling sempurna mengekspresikan kehendak dan keheningan Tuhan tanpa pamrih dan tanpa penyimpangan. Sudah pernahkah kita sampai pada tahap demikian untuk menilai diri kita adalah makhluk yang sangat ikhlas?

Sekali lagi, dunia memang diciptakan dalam ketikdaksempurnaan, yang mungkin sebenarnya sangat sempurna dalam makna final yang tidak pernah kita ketahui secara pasti alurnya.

Menurut pendapat saya yang sangat subjektif, yang perlu dilakukan manusia di dunia ini adalah belajar sebanyak-banyaknya menjadi manusia dalam perbedaan dan keberagaman di dunia global. Hidup di dunia berarti selalu belajar dari kesalahan agar menjadi lebih baik.

Hidup ibarat gelas kosong yang menanti diisi minuman yang nikmat. Merasa paling sempurna, paling benar, tak berbeda dengan gelas penuh yang menolak diisian dengan minuman yang lain.

Apa yang dilakukan Rutniasih dan warga Sudiroprajan adalah mengisi gelas kosong saya. Apresiasi saya setinggi-tingginya untuk mereka yang telah bekerja keras menjaga wajah keberagaman di bagian hulu sehingga menciptakan kehidupan yang sangat indah di bagian hilir dengan menihilkan kekerasan, aksi radikal ekstrem, maupun terorisme.

Orang-orang yang tidak sempurna itu di mata saya telah berhasil menunjukkan wajah kemanusiaan yang adil dan beradab di tengah keberagaman, khususnya di Indonesia.

Saya jadi teringat puisi Theoresia Rumthe yang berjudul Belajar Mewarnai. Nak, jika agama seperti rumah mestinya tak mengapa warna tembokmu berbeda dengan tetangga.

Sebuah puisi singkat, satu kalimat, namun sangat kaya makna itu, bagi saya mengesankan. Puisi itu membantu saya memahami bahwa dunia lahir dari banyak warna, bukan hitam atau putih saja.

Dunia ditopang banyak manusia dengan ragam tampilan fisik maupun budaya mereka. Perbedaan tersebut menunjukkan masing-masing tubuh mampu menceritakan sebuah bijana, tanah kelahiran, dengan pantai, gunung, sungai, pohon, dan juga leluhur-leluhur mereka yang cara hidupnya berbeda-beda.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya