SOLOPOS.COM - Kirab budaya mengawali pembukaan Festival Equatorr #3, Festival Tanah “Lemahku Kekuatanku” di Bulak Dobangsan, Desa Giripeni, Wates, Jumat (30/10/2015). (JIBI/Harian Jogja/Holy Kartika N.S.)

Biennale Jogja tahun ini melibatkan banyak pihak.

Harianjogja.com, KULONPROGO – Warga masyarakat Desa Giripeni antusias berpartisipasi dalam perhelatan seni Biennale Jogja XIII Equator #3. Pra event seni rupa Jogja ini, mencoba mengangkat sinergisitas masyarakat agraris dan seniman dalam sebuah pertunjukan yang layak untuk dipamerkan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Direktur Biennale Jogja Alia Swastika mengatakan, Festival Equator merupakan bagian dari Biennale Jogja. Di mana dalam pelaksanaan festival ini turut bekerjasama dengan berbagai komunitas.

“Salah satunya, kali ini kami bekerjasama dengan Kelompok Kesini@an yang merupakan seniman-seniman dari Kulonprogo. Tidak hanya di sini [Giripeni], tetapi kami juga akan menggelar di tempat-tempat lainnya,” ujar Alia di sela pembukaan Festival Tanah “Lemahku Kekuatanku” di Bulak Dobangsan, Desa Giripeni, Jumat (30/10/2015).

Alia mengapresiasi partisipasi masyarakat dalam mendukung festival tersebut. Dia menegaskan, acara seni memberikan peranan sangat penting bagi generasi masa kini. Melalui seni, generasi muda dapat mengenal keseniannya.

“Seni juga dapat membangun kemampuan semua orang untuk membaca kenyataan. Bahkan, dapat membangun kultur yang lebih luas,” jelas Alia.

Koordinator Festival Tanah Teguh Paino mengatakan, festival tersebut mencoba mensinergikan seni rupa dengan masyarakat pada umumnya. Kolaborasi ini juga menampilkan sinergisitas seni dan pertanian sebagai suatu identitas masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah agraris.

Selain itu, selama ini seni rupa selalu dianggap eksklusif. Teguh mengungkapka, karena selalu memiliki ruang khusus untuk dapat dipamerkan. Sebut saja seperti galeri, ruang pamer yang mewah dan lain sebagainya. Kali ini, ruang pamer dan ruang berkesenian itu mencoba dibangun di kawasan persawahan. Sebuah ruang terbuka yang selama ini hanya dikenal sebagai lahan pertanian yang ditumbuhi tanaman pangan.

“Kami ingin menunjukkan, persawahan juga memungkinkan untuk menjadi ruang pamer suatu karya seni. Karena pada dasarnya kawasan ini juga merupakan ruang publik. Selama ini ada jarak antara masyarakat dengan seni rupa, jadi lewat ini kami ingin mendekatkannya,” ungkap Teguh.

Mengusung tema Lemahku Kekuatanku, ada makna kritikan di dalamnya. Teguh mengungkapkan, tema tersebut lahir dari sebuah keprihatinan. Tanah selama ini dianggap tidak diperlakukan seperti semestinya dan dianggap tidak berharga.

“Tanah kurang dihargai, dieksploitasi secara berlebihan. Seperti dikeruk untuk tambang, pembangunan dan lain sebagainya. Padahal, pada dasarnya tanah itu adalah penompang seluruh kehidupan yang ada di bumi ini dan sudah semestinya dapat diperlakukan dengan baik,” tandas Teguh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya