SOLOPOS.COM - Kaki kuda karya Ugo Untoro. (JIBI/Harian Jogja/Kurniyanto)

Harianjogja.com, JOGJA—Sejumlah orang menengadah, melihat puluhan kaki kuda yang menempel di eternit di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Jalan. Sriwedani, Jogja. Mereka terlihat heran, bahkan beberapa di antaranya berusaha meraihnya. Namun karena letaknya yang tinggi, usaha itu gagal.

Puluhan kaki kuda yang menempel di eternit itu merupakan karya instalasi milik seniman Ugo Untoro, yang sengaja disuguhkan dalam Biennale Jogja XII bertajuk Not A Dead End. Pameran yang berlangsung dari 16 November hingga 6 Januari 2014 ini diikuti sebanyak 35 seniman dari Indonesia serta seniman dari lima negara Arab seperti Ahmed Mahter (Arab Saudi), Dina Danish, Hassan Khan, Magdi Mustafa (Mesir), dan Radhika Kimji (Oman).

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Tidak banyak yang tahu jika 43 kaki kuda yang dipajang dalam karya berjudul Deru itu merupakan kaki kuda asli. Puluhan kaki kuda itu diperoleh Ugo dari tempat pemotongan hewan di Pleret, Imogiri, Bantul. “

Sepasang kaki kuda saya beli seharga Rp150.000,” katanya saat ditemui Harian Jogja di rumahnya di Dusun Kersan, Desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Senin (18/11/2013).

Menurut seniman kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, 44 tahun silam itu, kaki kuda yang didapatkannya berasal dari kuda yang telah “dicampakkan” majikannya, karena telah berusia renta yang tidak sanggup bekerja atau kuda yang mengalami patah kaki saat bekerja.

“Karena dokter hewan tidak sanggup mengobati, akhirnya kuda-kuda itu dipotong, dan dagingnya diperjualbelikan untuk sate, obat, dan sebagainya,” kata seniman jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja itu.

Karya instalasi Deru sengaja dibuat karena dinilai cocok merepresentasikan tema yang tengah diusung,  yaitu perjumpaan antara Indonesia dengan negara Arab. Ugo menilai kuda memiliki andil besar dalam membantu manusia dalam berperang saat melakukan penaklukan suatu daerah.

“Dengan kuda-kuda itulah manusia melakukan penjajahan hingga akhirnya melahirkan kebudayaan baru di wilayah baru yang ia jajah,” katanya.

“Bukan saya kejam. Tapi justru saya ingin menyampaikan kepada publik kalau dibalik kuda yang tampak gagah perkasa terdapat kisah yang penuh ironi.  Kuda dicampakkan begitu saja ketika sudah tidak berguna lagi bagi pemiliknya,” ucapnya.
BIENNALE JOGJA 2013 :  Akhir Kisah Tragis Kuda dalam Karya Berjudul Deru

Harianjogja.com, JOGJA—Sejumlah orang menengadah, melihat puluhan kaki kuda yang menempel di eternit di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Jalan. Sriwedani, Jogja. Mereka terlihat heran, bahkan beberapa di antaranya berusaha meraihnya. Namun karena letaknya yang tinggi, usaha itu gagal.

Puluhan kaki kuda yang menempel di eternit itu merupakan karya instalasi milik seniman Ugo Untoro, yang sengaja disuguhkan dalam Biennale Jogja XII bertajuk Not A Dead End. Pameran yang berlangsung dari 16 November hingga 6 Januari 2014 ini diikuti sebanyak 35 seniman dari Indonesia serta seniman dari lima negara Arab seperti Ahmed Mahter (Arab Saudi), Dina Danish, Hassan Khan, Magdi Mustafa (Mesir), dan Radhika Kimji (Oman).

Tidak banyak yang tahu jika 43 kaki kuda yang dipajang dalam karya berjudul Deru itu merupakan kaki kuda asli. Puluhan kaki kuda itu diperoleh Ugo dari tempat pemotongan hewan di Pleret, Imogiri, Bantul. “

Sepasang kaki kuda saya beli seharga Rp150.000,” katanya saat ditemui Harian Jogja di rumahnya di Dusun Kersan, Desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Senin (18/11/2013).

Menurut seniman kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, 44 tahun silam itu, kaki kuda yang didapatkannya berasal dari kuda yang telah “dicampakkan” majikannya, karena telah berusia renta yang tidak sanggup bekerja atau kuda yang mengalami patah kaki saat bekerja.

“Karena dokter hewan tidak sanggup mengobati, akhirnya kuda-kuda itu dipotong, dan dagingnya diperjualbelikan untuk sate, obat, dan sebagainya,” kata seniman jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja itu.

Karya instalasi Deru sengaja dibuat karena dinilai cocok merepresentasikan tema yang tengah diusung,  yaitu perjumpaan antara Indonesia dengan negara Arab. Ugo menilai kuda memiliki andil besar dalam membantu manusia dalam berperang saat melakukan penaklukan suatu daerah.

“Dengan kuda-kuda itulah manusia melakukan penjajahan hingga akhirnya melahirkan kebudayaan baru di wilayah baru yang ia jajah,” katanya.

“Bukan saya kejam. Tapi justru saya ingin menyampaikan kepada publik kalau dibalik kuda yang tampak gagah perkasa terdapat kisah yang penuh ironi.  Kuda dicampakkan begitu saja ketika sudah tidak berguna lagi bagi pemiliknya,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya