SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Untuk kedua kalinya di 2009 ini, Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan BI-rate (suku bunga induk). BI-rate kini mencapai level 8,25% setelah turun 50 basis point pada awal Februari 2009 ini.

BI nampaknya telah berhitung cermat bahwa angka inflasi akan tetap terkendali rendah di kisaran maksimal 6% (hingga akhir 2009). Dengan pemangkasan suku bunga induk ini, diharapkan akan segera diikuti dengan penurunan suku bunga dana, dan ujung-ujungnya adalah penurunan suku bunga kredit bank.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Prosesnya adalah, penurunan suku bunga induk (BI-rate) ini biasanya akan segera diikuti dengan penurunan suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Baru setelah itu, kalangan perbankan merespon dengan menurunkan suku bunga simpanannya. Hasil akhirnya, bank-bank akan segera menurunkan suku bunga kreditnya, walau tentunya akan ada time lag didalamnya. Itulah prosesi ritual penurunan suku bunga yang pasti akan terjadi dalam waktu dekat ini.

Persoalannya, sering terjadi jeda waktu yang cukup panjang antara penurunan BI-rate dengan penurunan suku bunga kredit bank. Padahal, penurunan suku bunga pinjaman sudah ditunggu-tunggu kalangan dunia usaha. Disinilah muncul apa yang dikenal dengan sensitivitas perbankan. Sampai sejauh mana bank memiliki kepekaan terhadap penurunan BI-rate dan segera meresponinya dengan cara menurunkan suku bunga kreditnya. Persoalan ini memang tidak mudah dipecahkan mengingat cukup kompleksnya persoalan yang menyertainya.

Moneter vs fiskal
Terlepas dari itu semua, cepat atau lambat suku bunga kredit perbankan dipastikan akan turun cukup signifikan. Kalau sekarang suku bunga kredit rata-rata mencapai kisaran 16%-18%, maka dalam tempo tidak terlalu lama, diharapkan bisa mencapai 12%-13%, dan cenderung terus menurun.

Bahkan, saat sekarang ini, merupakan momentum yang paling tepat bagi kalangan perbankan untuk melakukan penurunan suku bunga kredit. Pasalnya, dunia usaha (sektor riil) sebenarnya sudah menantikan cukup lama untuk mendapatkan kucuran pinjaman bank dengan suku bunga yang terjangkau (murah).

Kendati dari sisi permodalan, para pelaku sektor riil akan sangat terbantu dengan penurunan suku bunga kredit, namun persoalan untuk mengangkat sektor ini tidak sesederhana itu. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Memang dari sisi moneter, BI sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, yakni memberikan iklim yang kondusif bagi kalangan perbankan untuk menurunkan suku bunga secepatnya. Hal ini jelas harus direspons oleh para pelaku dunia usaha dengan baik. Namun, kebijakan moneter saja tidaklah cukup, harus ada keseimbangan disisi kebijakan fiskal.

Panjangnya birokrasi perizinan, tingginya biaya transportasi (akibat kerusakan infrastruktur jalan), rendahnya daya saing produk (dibanding produk impor) serta seabrek permasalahan yang berkaitan dengan produksi, pemasaran, serta persoalan internal lainnya, masih menjadi lingkaran setan yang tidak pernah tuntas terselesaikan. Di sini, kebijakan fiskal sangat ditunggu-tunggu. Oleh sebab itu, pemerintah harus mampu menciptakan iklim, sarana serta kebijakan yang kondusif bagi bergeraknya sektor riil.

Tanpa itu semua, penurunan suku bunga kredit –yang akan berdampak pada ekspansi kredit perbankan–, tidak akan berpengaruh banyak terhadap pergerakan sektor riil. Bukan tidak mungkin justru menciptakan bad debt (kredit macet) baru akibat persoalan lain yang mengait dengan internal dunia usaha tidak pernah tuntas diselesaikan. Oleh sebab itu, untuk mengakselerasi pergerakan sektor riil dibutuhkan kebijakan moneter dan fiskal yang seimbang. Di sini diperlukan kerja sama antara BI, Depkeu serta pemangku kepentingan lainnya.

Hanya dengan cara semacam itu, akselerasi kebangkitan sektor riil akan tercipta dengan sendirinya. Penurunan BI-rate tanpa diikuti dengan kebijakan di sisi fiskal seperti disinggung di atas hanya akan menyebabkan terjadinya ketimpangan di sisi internal pelaku dunia usaha, yang pada gilirannya akan menyebabkan kesulitan baru. Bukan tidak mungkin, di saat terjadi ekspansi kredit bank-bank, maka sektor riil akan tetap saja kesulitan mengembalikan kredit akibat tingginya berbagai biaya yang harus mereka tanggung didalam menjalankan bisnisnya.

BI-rate=6,5%?
Mencermati kecenderungan rendahnya angka inflasi tahunan, maka peluang BI-rate mencapai angka di bawah 8% masih sangat memungkinkan. Bahkan Deputy Senior Gubernur BI, Miranda S. Gultom berani memprediksikan, bahwa jika tingkat inflasi hingga akhir tahun cukup rendah (pada kisaran 5%-6%), maka diakhir 2009 ini, besaran BI-rate bisa mencapai 6,5%.

Hal ini sangat mungkin terjadi di tengah tren penurunan suku bunga pasar di tingkat dunia belakangan ini. Inilah bentuk stimulus moneter bagi kalangan dunia usaha (bisnis), yang belakangan ini kian menjerit dengan tingginya bunga kredit bank.

Nah, dengan BI-rate yang cukup rendah, maka peluang suku bunga kredit untuk terus menurun menjadi sangat besar. Kesempatan ini setidaknya akan membuka peluang yang cukup besar bagi sektor riil untuk segera bangkit dari tidur panjangnya. Penurunan BI-rate  hingga akhir tahun setidaknya akan memacu pemerintah untuk segera mengeluarkan paket deregulasi sektor riil, terutama yang mengait dengan kebijakan fiskalnya.

Tanpa itu semua, kebangkitan sektor riil akanmenjadi  setengah hati, tidak bisa cepat seperti harapan kita bersama. Mudah-mudahan, pancingan berupa penurunan BI-rate ini akan segera diikuti dengan kebijakan fiskal yang sinergis dengan kebijakan moneter.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya