SOLOPOS.COM - Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubenur di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (17/11/2015). Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan Suku Bunga Bank Indonesia sebesar 7,50 persen. (JIBI/Solopos/Antara//Widodo S. Jusuf)

BI rate kemungkinan malah akan dinaikkan menyusul rencana kenaikan suku bunga the Fed (the Fed rate).

Solopos.com, JAKARTA — Kenaikan suku bunga the Federal Reserve (the Fed) yang kemungkinan terjadi pada pertemuan Desember 2015 cenderung membuat Bank Indonesia (BI) menaikan suku bunganya lagi. Jadi, penurunan BI rate nyaris mustahil.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Direktur Keuangan Negara dan Analisa Moneter Bappenas, Sidqy L.P. Suyitno, mengatakan yang menjadi perhatian saat ini adalah perbedaan antara suku bunga Amerika Serikat (AS) dan BI rate. Kalau suku bunga diturunkan, maka perbedaannya akan mengecil.

Kondisi tersebut membuat, “BI takut investor lari,” kata Sidqy, Jakarta, pekan lalu.

Dia menambahkan ketika the Fed menaikan suku bunganya, perbedaan tersebut akan kembali mengecil. Oleh karena itu, guna memperbesar perbedaan antara suku bunga the Fed dengan BI rate, BI akan cenderung menaikan suku bunganya.

Saat ini suku bunga acuan Indonesia yang mencapai 7,5% dan relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN yang hanya mencapai setengahnya.

Dengan begitu, ketika the Fed melakukan pengetatan, BI relatif lebih sulit untuk kembali menaikan suku bunga mengingat angka yang sekarang dinilai sudah cukup ketat. Kondisi ini berbeda dengan negara lain di ASEAN yang suku bunganya masih relatif lebih rendah.

Negara-negara di ASEAN tersebut masih memiliki ruang untuk melakukan pengetatan. Selain itu, tingginya suku bunga acuan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia Tenggara dikhawatirkan membuat daya saing dapat berkurang.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acaun meskipun perekonomian dinilai membaik. Penyebabnya, masih adanya ketidakpastian di pasar keuangan global, terutama pengetatan suku bunga the Fed.

Mengenai ruang pelonggaran yang dimiliki, BI lebih memilih untuk menurunkan suku bunga giro wajib minimum (GWM) primernya dari 8% menjadi 7,5%. Dalam jumpa pers tersebut, BI berharap dengan menurunkan suku bunga GWM primer, likuiditas perbankan akan bertambah dan mampu memberikan kredit kepada masyarakat lebih banyak lagi.

“Semua sama. Semua negara sama menghadapi itu. Namanya globaliasi, kan semua terkoneksi. Siapa yang bisa selama dari kondisi global, juga anjloknya harga minyak,” kata Sidqy.

Mengatasi kondisi tersebut, pemerintah harus melakukan reformasi. Saat ini masih adanya kemungkinan terganggunya stabilitas yang disebabkan oleh naiknya suku bunga the Fed adalah masih cukup tingginya hot money dalam pasar modal Indonesia.

Dia menuturkan, jumlah dana asing yang bisa keluar setiap saat tersebut mencapai 60%. “China yang dikuasai asing 10% aja crash, kebayang enggak [bagaimana dengan] kita,” kata Sidqy. “Itu yang menekan kita,” tambahnya.

Untuk menaikan suku bunganya, Chairman the Fed Janet Yellen membutuhkan data membaiknya laporan pasar tenaga kerja dan inflasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya