SOLOPOS.COM - Nazaruddin Latif, Dosen dan Ketua Pusat Pengkajian dan PengembanganStudi Islam (P3SI) , Stikes Aisyiyah Surakarta (FOTO/Istimewa)

Nazaruddin Latif, Dosen dan Ketua Pusat Pengkajian dan PengembanganStudi Islam (P3SI) , Stikes Aisyiyah Surakarta (FOTO/Istimewa)

Isra Mikraj merupakan peristiwa fenomenal sekaligus menakjubkan dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW. Perjalanan melintasi batas rasionalitas manusia, dari Mekkah menuju Palestina kemudian dilanjutkan ke Sidratul Muntaha dan kembali lagi ke bumi, dalam waktu singkat. Sulit rasanya bagi masyarakat awam dengan rasionalitas sederhana menerima kebenaran peristiwa tersebut. Quraish Shihab menekankan pentingnya pendekatan imaniy, seperti dilakukan Abu Bakar al-Shiddiq dalam menyikapi kebenaran peristiwa tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam konteks kehidupan sekarang, selain mengedepankan keimanan juga perlu kesadaran untuk menggali pesan fundamental peristiwa tersebut. Dengan demikian, peringatan Isra Mikraj tidak sekadar rutinitas simbolik tanpa makna, tetapi dalam setiap peringatan yang dilakukan selalu ada hikmah yang bisa diambil.

”Maha Suci Allah yang telah menjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS al-Israa: 1).

Ekspedisi Mudik 2024

Isra Mikraj secara filosofis menyiratkan perjalanan Nabi Muhammad melihat realitas dunia (Mekkah-Palestina) yang dilanjutkan bertransendensi menuju Sidratul Muntaha, lalu kembali lagi ke bumi untuk melakukan perubahan sosial, dengan mengajarkan keselamatan, kebenaran dan kebajikan guna melawan kesesatan, kemungkaran dan kezaliman.

Menurut Kuntowijiyo, transendensi merupakan istilah teologis yang bermakna ketuhanan, bertujuan untuk menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan, membersihkan diri dari arus hedonisme, materialisme dan budaya yang dekaden. Dalam dimensi tasawuf, transendensi berarti pengalaman spiritual yang terjadi di luar kemampuan empiris dan ilmiah manusia. Di kalangan sufi, transendensi adalah dambaan yang menjadi salah satu indikasi keberhasilan melakukan olah spiritual. Tanpa disadari, tidak sedikit sufi yang terbuai dan memilih hidup menyendiri, yang justru mematikan sensitivitas dan menghidupkan kecenderungan sikap apatis terhadap problem sosial.

Sikap apatis ini tentu saja kontraproduktif dengan semangat Nabi yang justru menjadikan transendensi ini sebagai pilar untuk melakukan rekonstruksi sosial. Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam berkomentar dengan mengatakan bahwa seorang ahli mistik tidak ingin kembali lagi dari suasana nikmatnya transendensi dan jika ternyata mau kembali itu pun tidak akan memberi makna yang besar bagi umat. Sebaliknya, jika yang mengalami transendensi itu Nabi maka ia akan kembali dengan memberi makna kreatif. Kembalinya Nabi dilakukan dengan menyisipkan diri mengawasi kekuatan-kekuatan sejarah dengan tujuan untuk menciptakan suatu ide dunia yang baru.”

 

Uzlah

Jika berkaca pada sejarah memasuki masa kenabian, Nabi Muhammad sering beruzlah (menyendiri) di Gua Hira. Sikap menyendiri ini bertujuan meninggalkan ingar bingar keramaian masyarakat, serta mencari ketenangan batin, kematangan spiritual dan petunjuk (wahyu) Ilahi untuk menjadi kekuatan dan titik tolak melakukan rekonstruksi sosial. Ditambah lagi, teguran Allah kepada Nabi saat berselimut merupakan legitimasi untuk melakukan aksi sosial.

Legitimasi teologis di atas merupakan modal penting bagi umat Islam mengarungi kehidupan modern yang memiliki progresivitas sangat tinggi. Di satu sisi memberi kontribusi positif, berupa dominasi ilmu pengetahuan dan ekonomi yang memberi kemudahan memperoleh materi. Di sisi lain juga berdampak negatif, berupa teralienasinya spiritualitas dalam diri manusia.

Harmoni sosial tergadaikan oleh sekat-sekat individualistik yang menjadikan manusia terasing dari komunitas sosial. Persaingan antarindividu berlangsung keras. Degradasi moral terjadi sangat tajam yang berarti tumbuhnya sikap oportunis dan menghalalkan segala cara. Pada akhirnya, kehidupan manusia berada di titik terendah, seperti digambarkan Thomas Hobbes, individu yang satu saling menjadi serigala bagi individu lainnya (hommo homini lupus).

Bergulirnya modernisme dalam kehidupan umat harus disikapi secara arif dan bijaksana dengan mengambil nilai-nilai kemaslahatan (kebaikan) dan meninggalkan nilai-nilai kemafsadatan (kerusakan) di dalamnya. Kontribusi positif modernisme adalah anugerah yang harus disyukuri dan dimanfaatkan secara maksimal untuk kebaikan manusia.

Dampak negatif modernisme adalah tantangan bagi umat untuk melakukan rekonstruksi sosial menjadi lebih baik. Rekonstruksi sosial ini merupakan pengejawantahan atas perintah Allah dalam Alquran,”Kamu adalah umat yang terbaik, dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah” (Ali Imron: 110).

Seruan kepada yang makruf dan mencegah dari kemungkaran adalah tugas kolektif yang dilakukan oleh umat. Tugas ini tidak hanya dibebankan kepada seorang saja, melainkan dilakukan secara bersama-sama, membangun kekuatan untuk terciptanya tatanan kehidupan yang baik. Rekonstruksi sosial harus dilakukan sepenuh hati. Sikap optimisme harus ditanamkan di dalam hati orang yang bergiat dalam tugas rekonstruksi sosial.

Hambatan yang besar bisa dijembatani dengan membangun spiritualitas. Spiritualitas memiliki pancaran cahaya yang akan membangun energi manusia yang sedang menegakkan nilai-nilai adiluhung. Oleh karena itu, latihan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah hendaknya tidak diorientasikan sebagai tujuan akhir, melainkan untuk memperoleh pencerahan dan kekuatan untuk membangun umat.

Semestinya, peringatan Isra Mikraj kali ini tidak sekadar diperingati secara simbolik. Tetapi, peringatan Isra Mikraj justru menjadi spirit bagi umat untuk merealisasikan kehidupan sosial dengan sikap kritis dan sensitif terhadap persoalan sosial yang terjadi di sekeliling. Dengan demikian, akan semakin mengasah sensitivitas dan tidak terjebak dalam apatisme sikap yang mengakibatkan keterpurukan umat.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya