SOLOPOS.COM - Anies Baswedan bersama istri dan Sandiaga Uno bersama istri mengakat tangan saat deklarasi pencalonan di rumah orang tua Prabowo, Jl. Kertanegara, Jakarta, Jumat (23/9/2016). (JIBI/Solopos/Antara/Reno Esnir)

Anies Baswedan dan Prabowo kini berkawan di Pilkada Jakarta. Sebelumnya, di Pilpres 2014, keduanya berada di kubu yang berlawanan.

Solopos.com, JAKARTA — Dua kubu penantang petahana telah memutuskan siapa jagoannya yang kelak akan maju di Pilkada Jakarta 2017. Dari kubu PKS-Gerindra telah mengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, sedangkan kubu koalisi kekeluargaan mengusung putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yakni Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pengamat politik Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, menilai sosok Agus Harimurti Yudhoyono bisa dianggap menjadi personifikasi orang tuanya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sedangkan sosok Anies Baswedan, lanjutnya, dianggap tidak konsisten. Pasalnya, Anies pernah berada di kubu penantang Prabowo pada Pilpres 2014 dengan menjadi juru bicara Jokowi-JK.

Dirinya pun lantas diangkat menjadi Menteri Kebudayaan dan Pendidikan sebelum akhirnya jabatan itu pun dicopot oleh Presiden Jokowi. “Tapi [dia] sekarang harus menjadi calon andalan Prabowo,” ujar kepada Bisnis/JIBI, Jumat (23/9/2016).

Faktor-faktor itu pun yang menjadi alasan bahwa Petahana masih berpeluang menang walaupun tidak mudah. Tak hanya itu, hambatan psikologis pun minim karena keduanya memiliki pengalaman baik dalam mengatasi tekanan partai maupun dalam menerapkan kerja sama membangun untuk Jakarta.

“Pemilih DKI pada umumnya lebih menimbang figur ketimbang parpol. Dan dalam memilih figur, unumnya pemilih tidak baper,” tuturnya. Oleh karena itu, dalam pilkada periode ini, untuk bisa mengalahkan petahana, para kandidat dituntut untuk bisa secara rasional menjelaskan program ketimbang mengupas hal-hal artifisial seperti gaya komunikasi.

“Sebagai contoh, jika penggusuran dianggap tidak manusiawi lalu bagaimana menyusun program yang menguntungkan sekaligus manusiawi bagi lingkungan menengah ke bawah di daerah kumuh? Bagaimana pula kandidat meyakinkan publik bahwa program itu tak sekedar jargon semata?” Baca juga: Catat! Anies-Sandiaga Janji Atasi Kemacetan Jakarta.

Jika ditelaah, kata dia, ada kemungkinan bahwa pertarungan dalam pilkada akan sangat substantif sehingga tak cukup dengan mengkritik pihak lawan atau petahana. “Karena seburuk-buruknya komunikasi Ahok, hal itu telah membuatnya sulit ditekuk oleh elite politik yang direpresentasikan melalui DPRD,” tutupnya.

Meski memiliki track record yang cukup bagus, namun calon-calon tersebut belum tentu bisa menjadi pesaing ideal bagi calon petahana. Menurut Lucius, di antara tiga pasangan calon, peluang paling besar untuk memenangkan kursi DKI 1 masih ada pada Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat.

“Saya kira bicara peluang bagi tiga pasang kandidat ini menjadi lebih rumit. Karena ketiganya hampir punya senjata andalan yang bisa menarik minat pemilih. Akan tetapi lebih mudah mengukur peluang petahana yang programnya sudah teruji. Calon-calon lain mesti bisa memperlihatkan program yang realistis agar bisa diuji dengan petahana,” ujar Lucius.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya