SOLOPOS.COM - Pagar pembatas proyek rehabilitasi Pasar Legi, Solo, terlihat sudah dibongkar, Minggu (28/11/2021). (Solopos/Nicolous Irawan)

Solopos.com, SOLO — Pasar Legi Solo memulai babak baru dalam perjalanan sejarahnya dengan peresmian bangunan pasar tersebut oleh Ketua DPR RI Puan Maharani pada Kamis (20/1/2022) lalu.

Sebelumnya, pasar induk hasil bumi di Kota Bengawan itu ludes terbakar pada 29 Oktober 2018. Saat itu Senin sore ketika api yang berasal dari korsleting listrik membakar los demi los, kios demi kios.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tim pemadam kebakaran membutuhkan waktu semalaman untuk menjinakkan si jago merah. Dua tahun berlalu dan kini Pasar Legi Solo sudah dibangun kembali dengan anggaran dari pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Ekspedisi Mudik 2024

Pembangunan kembali Pasar Legi Solo menghabiskan anggaran hingga Rp114,72 miliar. Dibandingkan dengan bangunan sebelum terbakar, bangunan baru ini jauh berbeda. Konsep bangunannya modern terdiri atas tiga lantai yakni semi basement, lantai dasar, dan lantai II.

Baca Juga: Pasar Legi Solo Diresmikan Pimpinan Legislatif, Rudy: Ini Sejarah

Selain itu, jika sebelum terbakar ada pedagang yang berjualan di pelataran, di pasar yang baru ini semua pedagang harus berjualan di dalam pasar. Mereka sudah didata dan mendapat tempat masing-masing.

Ilustrasi Pasar Legi Solo (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos) buruh gendong pasar legi
Ilustrasi Pasar Legi Solo (Dok Solopos)

Bangunan dengan wajah baru itu sekaligus menandai harapan baru bagi pedagang maupun warga Solo dan sekitarnya dalam perjalanan Pasar Legi Solo yang sudah mampu bertahan dan tetap eksis selama lebih dari 250 tahun.

Keseimbangan Ekonomi dan Religi

Informasi yang diperoleh Solopos.com, Pasar Legi Solo dibangun kali pertama oleh Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa, yang juga penguasa pertama Praja Mangkunegaran, KGPAA Mangkunagoro (MN) I, di era 1750-an.

“Selepas dinobatkan menjadi Mangkunegara I (MN I) dan diberi wilayah kekuasaan, hal pertama yang dikerjakan RM Said ialah mendirikan pasar serta masjid,” terang sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, dalam artikel berjudul “Menyelamatkan Pasar Legi” yang dimuat di Harian Umum Solopos, 31 Oktober 2018 lalu.

Baca Juga: Pindahan dan Peresmian Pasar Legi Solo Tepat di Pasaran Legi, Sengaja?

Pasar dan masjid, lanjut Heri, menjadi wujud keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan religi. Pendirian pasar itu disambut gembira oleh warga saat itu yang mayoritas petani. Mereka mendapat ruang untuk memasarkan hasil bercocok tanam mereka.

Apalagi, saat itu dengan tujuan menarik banyak pedagang dan meramaikan pasar tersebut, MN I bersiasat membebaskan pajak perdagangan. Setiap hari pasaran Legi, pedagang dari berbagai daerah seperti Kartasura, Boyolali, Wonogiri, Karanganyar, Klaten, Sragen, hingga Walikukun (Ngawi) menempuh perjalanan jauh ke Pasar Legi Solo.

Mulai periode 1870-an, rombongan dari Ngawi dan Klaten bisa memanfaatkan sarana kereta api kelas tiga, lalu turun di Stasiun Balapan,” jelas Heri. Sisanya yang tidak terjangkau rel KA naik cikar, gerobak, atau andong membawa hasil panen untuk dijual.

Pasar Totogan Digabung

Kondisi itu bertahan sampai era MN VII (1916-1944). Dalam koran Darmo Kondo yang ditemukan Heri di Perpustakaan Nasional disebutkan saat itu Pasar Legi tambah gayeng setelah MN VII menggabungkan Pasar Totogan ke utara.

Baca Juga: Belum Diresmikan, Bangunan Baru Pasar Legi Solo Malah Kebanjiran

Pasar Totogan semula berada di sisi selatan Sungai Pepe untuk melayani kebutuhan masyarakat di wilayah itu. Saat itu, Pasar Legi masih berupa barisan pedagang membuka dasaran di tanah beralas karung dan daun.

“Kenyataan ini memunculkan istilah pedagang oprokan. Ada pula yang menjajakan daganganya berpayung gubuk. Belum ada dinding (tembok). Pasar terkena lindhu dan mengalami kerusakan,” jelas Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu.

Baru pada 1936, Pasar Legi Solo dibangun menjadi pasar permanen dengan tembok berwarna putih. Pertokoan di bagian muka pasar yang semula berbahan kayu diganti bahan beton sedangkan tinggi rendah serta luas bangunan juga disamakan agar sedap dipandang.

Penataan tidak berhenti di situ. Selokan pembuangan air diperbarui. Halaman terbuat dari aspal yang panas saat kena matahari diganti beton. Kenyamanan pedagang maupun pengunjung benar-benar dipikirkan oleh penguasa saat itu.

Baca Juga: Sebelum Kebakaran, Pasar Legi Solo Sempat Akan Direvitalisasi

Menghapus Stigma Kotor dan Kumuh

Sementara itu, dikutip dari laman eprints.ums.ac.id tentang Redesain Pasar Legi Surakarta Bercitra Moderen, setelah renovasi semasa MN VII tahun 1936, Pasar Legi Solo baru direnovasi lagi pada 1992.

Bangunan pasar hasil renovasi itu bertahan selama 26 tahun hingga terbakar pada Oktober 2018 lalu dibangun kembali menjadi bangunan modern berlantai tiga yang baru diresmikan Kamis (20/1/2022). Bangunan tiga lantai itu menampung 321 pedagang kios, 2.218 pedagang los, dan 700 pedagang pelataran.

Dengan desain bangunan berkonsep hijau dan modern itu diharapkan bisa mengubah stigma pasar kumuh, kotor, dan sesak yang kerap melekat pada pasar tradisional. Seperti harapan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka bahwa Pasar Legi tidak hanya menjadi pasar induk yang bersih, nyaman, tertata, tidak kumuh, tapi juga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.

Tidak hanya untuk ekonomi Solo tapi juga Soloraya. “Apalagi sekarang Pasar Legi sudah menerapkan sistem pembayaran nontunai sehingga lebih efisien,” katanya saat peresmian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya