SOLOPOS.COM - (Espos/Adib Muttaqin Asfar) BERSAING DENGAN PABRIK-Syafiq dan sandal buatannya, Jumat (13/4) lalu. Sandal-sandal ukir dari spon ini mampu bertahan dari serbuan sandal pabrik berharga murah.

(Espos/Adib Muttaqin Asfar) BERSAING DENGAN PABRIK-Syafiq dan sandal buatannya, Jumat (13/4) lalu. Sandal-sandal ukir dari spon ini mampu bertahan dari serbuan sandal pabrik berharga murah.

Dulu, Syafiq tidak menyangka usaha kerajinan sandal sponsnya bisa bertahan lama hingga sekarang. Maklum, laki-laki asli Kemlayan, Solo ini memang sering berganti-ganti usaha.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sebelum menjalankan usaha sandal, Syafiq sempat menjadi pedagang kaki lima menjual CD dan kaset. Saat saingan makin banyak, dia pun berpikir keras untuk mencoba jenis usaha lain. Pilihan itu jatuh pada usaha produksi sandal spons yang akhirnya mampu bertahan lama.

“Dulu usaha sandal ini cuma untuk menyiasati makin ketatnya persaingan usaha lama,” ujarnya.

Pilihan itu tampaknya tidak salah. Di awal produksinya, sandal spons mampu menarik banyak peminat di pasar-pasar. Banyak konsumen yang tertarik oleh bentuk sandalnya yang tidak lazim atau di luar bentuk standar. Jika biasanya bentuk sandal hanya mengikuti bentuk dan ukuran kaki, maka bentuk sandal Syafiq saat itu bisa berbentuk kepala tokoh kartun daun dan sebagainya.

Sayangnya kesuksesan awal itu tidak bertahan lama. Saat produk Syafiq mulai menyebar ke berbagai kota, sebuah pabrik sandal mengeluarkan produk serupa. Mereka memproduksi sandal serupa dalam jumlah besar dan tentu dengan harga murah. Pasar sandal Syafiq pun sempat tergusur.

“Dulu polos, belum punya inspirasi ukiran. Akhirnya saya berpikir apa yang bisa saya buat dan tidak bisa dibuat oleh pabrik,” kenangnya.

Inspirasi itu datang secara tidak sengaja. Suatu hari, salah satu sandal sponsnya terbakar oleh api namun justru mengeluarkan motif yang unik. Mulailah dia mencoba-coba memberikan perlakuan panas pada sandal sponsnya. “Dan yang panasnya stabil adalah solder. Maka saya mengukir sandal pakai solder.”

Akhirnya sampailah dia pada teknik ukir sandal yang diterapkannya sampai sekarang. Setelah dipotong berbentuk sandal, ditempelkannya kertas berpola di atas spons dan disolder sesuai pola. Hasilnya pun unik dan mendapat respons bagus dari pasar.

Awalnya, Syafiq menjualnya di Pasar Ngarsapura dan hampir terjual habis. Saat sedang boom, Syafiq malah sampai menambah karyawannya menjadi 11 orang. Kini, dia memiliki reseller di berbagai kota seperti Jakarta, Lampung, Pekanbaru, Riau dan Gorontalo. Syafiq justru membatasi pemesanan produknya karena baru mampu membuat sekitar 1.000 sandal per bulan. “Dulu sempat ada orang Amerika Latin meminta saya menyuplai 5.000 sandal per bulan. Tapi saya belum sanggup.”

 

Dari Pasar ke Blog

Pengalaman serupa juga dialami oleh Indra saat memulai usaha sandal flanelnya. Berawal dari ide kerajinan sandalnya, dia dan istrinya mulai memproduksi 30-an pasang sandal. Pertama kali mereka menjualnya di Pasar Jumat Karanganyar dan ternyata laku.

Sandal-sandal itu memang dibuat secara terbatas. Membawa puluhan sandal yang sudah jadi, mereka juga menawarkan pemberian nama pada masing-masing sandal sesuai pemiliknya. Hasilnya, para pengunjung sangat tertarik. “Terus kami juga menjualnya di Manahan Minggu pagi. Tapi itu tidak bertahan lama dan kemudian kami memilih berjualan secara online,” kata Indra.

Sejak saat itu, mereka tak pernah lagi membuka lapak di pasar mingguan. Hal ini bukan tanpa alasan karena mereka sempat mengalami kendala di pasar-pasar itu. Sempat ingin kembali berjualan pada pekan berikutnya, lapak mereka justru ditempati pedagang lain. Karena itulah mereka mencoba jalur lain yang tidak perlu bergesekan dengan pedagang nakal.

Indra membuat sebuah blog berisi katalog produk sekaligus harga dan kontak personnya. Tak disangka, penjualan via blog justru malah lebih bagus daripada di Pasar Jumat dan Minggu. Tak tanggung-tanggung, pesanannya bisa mencapai puluhan pasang sandal.

“Pesanan pertama datang dari Padang Pariaman, mereka pesan sampai 10 kodi,” ujarnya.

Pelan-pelan usaha sandal itu terdengar sampai ke mana-mana. Melalui blog inilah Indra mendapatkan pesanan dari Aceh sampai Maluku. Para pemesan ini rata-rata adalah pedagang yang menjualnya kembali di kota masing-masing. Mereka secara rutin memesan sandal kepada Indra.

Kini, perjalanan produksi sandal flanel ini telah berjalan selama tiga tahun dan pesanan terus mengalir. Untuk urusan produksi, Indra menyerahkannya kepada istrinya sedangkan dia mengurus pemasaran dan blog. Kini bukan hanya sandal biasa yang disulapnya, melainkan juga sepatu-sepatu anak yang semula hanya berbentuk sederhana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya