SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Dokumen Solopos)

Solopos.com, SOLO -- Pandangan saya tertambat pada tanda diskon di tempat khusus penjualan sepeda di sebuah pusat perbelanjaan. Saya melihat sekilas sebelum melangkahkan kaki menuju tempat penjualan roti dan makanan mentah.

Tulisan diskon dengan huruf kapital semua itu langsung terlupakan. Begitu sampai di kasir, baru saya sadar bahwa suami saya ”menghilang”. Saking asyiknya saya memilih bahan makanan untuk keluarga, ”hilangnya” dia tak saya sadari.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Setelah mencari beberapa saat, baru saya tahu ternyata dia terhenti di tempat penjualan sepeda. Dia di sana sepanjang aktivitas berbelanja kilat saya siang itu. Sepeda dan tulisan diskon tersebut benar-benar membuat dia betah bertahan di tempat yang sama.

Di tempat penjualan sepeda itu, kami berdiskusi mengenai tren bersepeda, naiknya harga sepeda, hingga anomalinya, yaitu kenaikan jumlah penjualan unit sepeda hingga tiga kali lipat di berbagai daerah di negeri ini.

Faktor kenaikan harga sama sekali tak memengaruhi antusiasme pembeli. Bersepeda adalah tren baru pada masa pandemi Covid-19. Keputusan pada menit terakhir hari itu adalah suami saya tak membeli sepeda yang harganya sebenarnya terjangkau meski saya berkali-kali menanyakan keikhlasan tidak membeli itu.

Saya bukan orang yang memfavoritkan aktivitas bersepeda sementara suami saya sebaliknya. “Sepeda di rumah masih bagus,” begitu kalimat suami saya menghentikan diskusi panjang kami dan kami pulang tanpa membahas topik bersepeda lagi.

Meski diskusi terhenti, proses berpikir saya tidak bisa berhenti. Obrolan di tempat penjualan sepeda memancing pikiran saya sehingga saya merasa perlu membahasnya dalam tulisan khusus ini.

Tren bersepeda bagi saya merupakan tren menarik dan menunjukkan gejala hiper-realitas dalam dunia modern. Sulit bagi saya tak menangkap aroma kepalsuan yang begitu terasa dari munculnya tren ini. Penilaian kristis ini saya perkecualikan bagi orang-orang yang menggemari aktivitas bersepeda sejak lama dan menggunakan sepeda untuk bekerja.

Saya hanya membahas tren yang mendadak dan terkesan tak logis ini. Saya lantas membuat beberapa penyataan yang setara dengan aktivitas bersepeda yang dicitrakan sebagai aktivitas olahraga.

Pertama, apabila saya lapar maka saya akan (makan). Kedua, apabila mengantuk maka saya akan (tidur).  Ketiga, apabila aya lelah maka saya (beristirahat), saya ingin berprestasi maka saya (belajar), saya ingin pengetahuan maka saya (membaca), serta saya ingin sehat maka saya (berolahraga).

Apabila bersepeda ditempatkan pada premis ”saya ingin sehat” maka asumsinya ada ”pencerahan” yang mendadak atau tiba-tiba pada semua orang secara bersamaan tentang pentingnya olahraga dan betapa sepeda adalah jawaban yang paling tepat.

Sepeda tiba-tiba muncul di benak semua orang sehingga toko-toko sepeda menjadi ramai luar biasa. Saat sosiolog Jean Baudrillard menggunakan media massa sebagai alat pencerah palsu, saya melihat media sosial secara efektif telah menggantikan itu.

Sistem Kapitalisme

Media sosial yang secara DNA, meminjam istilah ahli komunikasi Roger Fidler, masuk dalam domain interpersonal, telah mengembangkan kemampuan hingga masuk domain penyiaran. Facebook, Twitter, Instagram bukan hanya menggantikan media komunikasi interpersonal tradisional, seperti telepon, namun juga bisa berlaku seperti media penyiaran, laksana radio atau televisi.

Orang-orang kini berada dalam film bergerak mereka sendiri, selalu berada di panggung utama untuk tampil melalui berbagai unggahan status. Aktivitas bersepeda, berupa narasi pendek, foto, dan video selalu menjadikan mereka aktor untuk mengekspresikan eksistensi dan status sosial.

Bukankah media sosial adalah sarana yang paling mudah dan murah untuk menunjukkan semua itu tanpa perlu proses budaya yang menuntut banyak energi dan pengorbanan? Ketika media sosial ditambah media massa menjejali kita dengan gaya hidup bersepeda, pencerahan palsu telah terjadi.

Kita, saya juga termasuk (meski bukan pada kasus sepeda), telah menerima tanda-tanda itu agar kita termasuk orang yang tercerahkan. Konsep pencerahan palsu adalah menciptakan orang-orang yang tercitrakan berbeda, golongan yang lebih baik dibandingkan golongan lain. Baudrillard mengatakan konsumsi dalam era simulasi adalah konsumsi tanda, bukan konsumsi objek atau benda berdasarkan nilai guna – meminjam istilah Karl Marx.

Tanda-tanda yang membuat kita berbeda dari orang lain. Tanda-tanda di balik keputusan kita memilih Brompton, London Taxi, atau Polygon, misalnya, dibandingkan merek lain. Tanda yang membuat kita memilih aktivitas bersepeda dibandingkan berjalan kaki sementara pada saat lain kita justru mengeluhkan keuangan yang seret pada masa pandemi.

Saya ingat hasil diskusi dengan sahabat saya mengenai dunia belakang panggung kita yang begitu amburadul hanya demi menjadi aktor yang hebat di depan panggung. Tak punya uang tapi selalu membeli dan membeli. Punya sepeda dengan cara mencicil, meghabiskan gaji, utang, hingga pinjam dalam jangka waktu yang lama dari saudara tak jadi soal!

Yang terpenting bisa bersepeda. Dengan konsumsi kita mengira bahwa diri kita menjadi sangat berbeda dari orang lain, sementara para penonton di bawah panggung justru melihat kita semua menjadi kian seragam. Bukankah pencerahan palsu memang menyesatkan dan memalukan?

Saat kita mengira komunitas bersepeda kita yang diwadahi dalam sebuah grup Whatsapp begitu berbeda dengan kelompok lain, sesungguhnya kita justru menuju jalan yang makin seragam dengan orang lain. Kota hingga desa penuh dengan para aktor baru, para pesepeda yang (merasa) telah ”tercerahkan”.

Di sisi lain, sepeda sebagai sebuah tanda juga mempromosikan unsur kesamaan, khususnya kesamaan anggota di sebuah komunitas sepeda tertentu. Saat membeli dan menggunakan sepeda maka dapat masuk dalam komunitas tersebut. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan penerimaan kelompok dan komunitas sepeda menjawabnya dengan sangat efektif.

Saya tidak akan kembali pada premis bahwa jika saya ingin sehat maka saya akan mengonsumsi makanan sehat dan olahraga. Saya kini langsung menuju objek, yaitu sepeda. Referensi apa yang saya dapat dari objek ini? Jawabannya menuju ketiadaan selain bermacam-macam tanpa imajinasi tentang persamaan dan perbedaan yang telah saya bahas.

Tidak ada pencapaian atau ideologi yang terkandung dari aktivitas tersebut. Semuanya hanya jalan di tempat, tidak membawa kita ke mana pun. Jika kita ingin sehat maka ada banyak olahraga yang bisa kita pilih dan memang bersepeda termasuk salah satu di antaranya. Tujuan itu bisa tercapai saat kita mematikan yelepon seluler kita dan berhenti mendokumentasikan segala kegiatan tersebut.



Sehat tidak butuh tanda-tanda yang dipamerkan di media sosial seperti juga sakit yang tidak butuh perban di kepala atau teriakan layaknya di opera sabun. Kehidupan di belakang panggung adalah kehidupan yang tenang, tak perlu dijadikan tontonan, kehidupan kita yang sebenarnya.

“Tapi kalau kita punya uang sangat berlebih, sepedanya jadi dibeli tidak ya? Sepeda tadi murah sekali!” kata suami saya tiba-tiba di perjalanan kembali ke rumah. Imajinasi saya langsung aktif, membayangkan kami sekeluarga punya sepeda sendiri-sendiri, dan itu sepertinya keren sekali. Ah, sampai kapan saya menahan godaan menjadi ”tercerahkan” yang diproduksi sistem kapitalisme ini?

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya