SOLOPOS.COM - Seorang perajin menata tempe sambil menunggu proses fermentasi di tempat pembuatan tempe di Medan, Sumatra Utara, Senin (12/3/2018). (JIBI/Solopos/Antara/Septianda Perdana)

Indonesia yakin pengajuan tempe sebagai warisan dunia akan diterima meski negara lain juga mengajukan hal yang sama.

Solopos.com, SURABAYA — Indonesia mengajukan tempe sebagai warisan dunia ke United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESO) pada 2021. Meski bukan satu-satunya negara yang mengajukan tempe, Indonesia yakin pengajuan itu diterima.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketua Forum Tempe Indonesia, Made Astawan, mengakui bahwa syarat untuk maju ke UNESCO cukup berat, salah satunya dokumen harus lengkap. Namun dirinya yakin tempe Indonesia bisa diterima meski negara lain ada juga yang mengajukan tempe.

Ekspedisi Mudik 2024

“Kami yakin Indonesia yang diterima, karena kami punya bukti yang kuat, ada di buku Serat Centhini yang menunjukan bahwa tempe sudah dikenal sejak abad ke-16,” kata Made di sela-sela Soy Insight – 13th SE-Asia Soy Food Symposium, Selasa (20/3/2018).

Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS), Agustinus Ngadiman, mengatakan tempe sudah sangat layak menjadi warisan budaya dunia karena keberadaanya di Indonesia punya bukti dan sejarah panjang. Baca juga: Indonesia Ajukan Tempe Jadi Warisan Dunia UNESCO 2021.

“Di Jawa, tempe selalu digunakan sebagai simbol sebuah tradisi misalnya di Yogyakarta dan Sleman yang masih kental, mereka selalu memasukan unsur tempe ke dalam tumpeng atau makanan untuk memperingati hari kematian saudaranya, untuk kenduri, maulid nabi, bahkan di Kraton jadi salah satu sesaji para raja,” ungkapnya, Selasa (20/3/2018).

Selain daerah di Jawa Tengah, di Jawa Timur pun yang masih daerah Matraman seperti Madiun, Ponorogo, Pacitan, dan Trenggalek juga masih kental dengan tradisi yang mengikutkan unsur tempe.

“Bahkan cara memakannya pun punya makna, seperti dibungkus daun pisang ataupun disajikan dalam lembaran daung pisang bersama nasi dan lauk lainnya, dan tempe tidak dipotong-potong karena melambangkan kesatuan,” jelasnya.

Sebagai bukti lain, pada 1925-1985 pun terdapat lagu tradisional Tahu-tahu tempe oleh Ki Nartosabdo (1925-1985) hingga ada istilah esuk tempe sore dele (pagi tempe, sore kedelai) yang menggambarkan situasi makanan pokok masyarakat dulu adalah tempe.

Meski hanya sekitar 30% bahan baku tempe atau kedelai yang diproduksi lokal dan 70% kedelai impor, tapi tidak membedakan rasa tempe. Ngadiman berharap pemerintah peduli terhadap warisan budaya ini, salah satunya meningkatkan produksi kedelai lokal agar tidak ketergantungan dengan impor.

“Pemerintah harus menggerakkan lagi tanam kedelai, dan sawah yang subur jangan dihabiskan untuk pembangunan rumah. Saya yakin produksi kedelai banyak membawa manfaat dan ekonomi,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya