SOLOPOS.COM - (FOTO/Istimewa) INOVASI SEDERHANA-Ranu (kiri) dan Singgih (kanan) bersama penulis buku Cipto Juanaedy beberapa waktu lalu. Mereka merintis bisnis dengan modal inovasi susu kedelai.

Dyah Nur Rahmawati (FOTO/Istimewa)

Kuliah memang tidak pernah menjamin masa depan namun setidaknya ada yang berbeda saat para lulusannya berwirausaha. Itulah yang dialami Singgih Prayogo dan Ranu, dua lulusan Institut Teknologi Surabaya (ITS), sejak lulus 2003.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sempat lima tahun kuliah di Jurusan Fisika, dua pemuda asal Surabaya ini kini malah mengelola Dele Tidar, sebuah bisnis produksi dan penjualan susu kedelai di Jl Tidar, Surabaya. “Setelah lulus 2003 lalu, kami sempat berganti-ganti usaha. Dulu kami ini kontraktor dan konsultan tapi sejak 2007 kami memulai usaha ini,” kata Singgih saat ditemui di Sosialisasi Wirausaha Industri Inovatif ke-3 di Auditorium UNS, Solo, Jumat (13/4) lalu.

Bisnis susu kedelai memang sudah teramat biasa di kalangan para pengusaha mikro. Dengan teknik sederhana, siapa pun bisa melakukannya bahkan tanpa pendidikan sekalipun. Usaha susu kedelai milik Singgih dan Ranu ini tampil beda. Pengalaman panjang mereka di kampus membuat bisnis ini tidak dilakukan sembarangan. Produksi mereka berbasis pada teknik dan hasil penelitian yang cukup dalam.

Jauh-jauh hari sebelum membuka usaha susu kedelai ini, mereka sadar harus membuat sesuatu yang beda. Teknik pembuatannya nyaris sama dengan susu sejenis. Kelebihannya, mereka mampu menampilkan susu kedelai yang diproduksi hanya dalam hitungan menit.

“Kalau biasanya susu kedelai itu dibikin di rumah, kami berani membuatnya langsung di depan konsumen. Orang sering bertanya ini kedelai asli atau tidak, dengan begitu orang bisa melihatnya sendiri,” ujar Singgih.

Walau perbedaan itu tampak sederhana, perlu proses panjang di balik semua itu. Agar bisa dibuat dalam waktu singkat di depan konsumen, perebusan kedelai pun harus jauh lebih cepat. Padahal perebusan kedelai umumnya memakan waktu hingga delapan jam sebelum diolah jadi susu. Di tangan kedua pemuda ini, perebusan hanya membutuhkan waktu satu jam.

(FOTO/Istimewa) INOVASI SEDERHANA-Ranu (kiri) dan Singgih (kanan) bersama penulis buku Cipto Juanaedy beberapa waktu lalu. Mereka merintis bisnis dengan modal inovasi susu kedelai.

Inilah yang ditawarkan oleh Singgih dan Ranu. Untuk menemukan tekniknya, mereka berdua harus melakukan observasi panjang di berbagai kampus besar. Mereka membongkar hasil-hasil penelitian di Universitas Brawijaya, Institut Pertanian Bogor sampai mencari referensi secara online dari University of Illinois. “Kami ke kampus-kampus yang ada Fakultas Pertaniannya, lalu kami mempelajari hasil-hasil penelitiannya.”

Hasilnya memang berbeda. Model produksi ini mampu membuat para konsumen menaruh kepercayaan tinggi. Inovasi mereka bukan hanya berbentuk kemasan, juga dalam proses produksi. Usaha inilah yang kemudian dikirim ke Technocamp UNS untuk diangkat melalui proses inkubator bisnis. Mereka baru mendirikan sebuah outlet di Surabaya dan punya mimpi untuk menjadikannya sebagai usaha franchise.

 

Bermodal Proposal

Singgih bukan satu-satunya orang yang bermimpi menjadi pengusaha sukses. Di samping mereka dalam acara Technocamp UNS, lebih dari tiga ratus orang yang memiliki mimpi serupa. Mimpi itu tidak muluk-muluk, tanpa hi-tech dan hanya mengandalkan inovasi sederhana.

Berbekal sebuah business plan (rencana bisnis), ratusan orang yang kebanyakan masih berstatus mahasiswa itu berusaha mewujudkan mimpi menjadi pengusaha. Salah satunya adalah Dyah Nur Rahmawati yang siang itu sibuk meneliti kembali proposal usahanya. “Saya ingin membuat donat, konsepnya mirip dengan J.Co. Jadi nanti bikin seperti kafe donat,” kata mahasiswi Jurusan Teknik Industri UNS angkatan 2009 ini.

Bersama Yudha Yoga Pratama dan Ferry Tri Susilo, rekan satu jurusannya, Dyah menyusun proposal usaha yang sebenarnya berawal dari tugas kuliah kewirausahaan. Lolosnya proposal mereka pun seperti mimpi karena mereka belum pernah mencoba menjalankan usaha serupa.

Meski masih berupa mimpi, rencana bisnis mereka pun menawarkan nilai tambah. Jika kebanyakan donat dibuat dari tepung terigu, kali ini mereka berencana memproduksi donat dari labu kuning alias waluh. Alasannya, waluh memiliki kadar gizi yang tinggi dan harganya lebih murah.

Ketiganya sudah membuat prototipe produk donat waluh tersebut, belum lama ini. Namun mereka belum pernah melakukan mencoba menjual donat ini atau mengujinya di pasar. “Ibu-ibu di Ngoresan sudah membuatnya, tinggal cari modalnya,” lanjut Dyah.

Jika diproduksi, donat ini akan dijual dengan harga Rp3.000/buah. Masalahnya, mimpi tersebut kini masih terganjal oleh keterbatasan modal. “Kami sudah hitung-hitung, kira-kira butuh modal Rp33 juta.”

Begitu pula dengan rencana Zainuddin. Mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin UNS semester VIII ini berangan-angan membuat kerajinan berbahan dasar serbuk kayu atau grajen. Empat tokoh Punakawan akan  menjadi model pertamanya, bukan dalam bentuk wayang pipih, melainkan tiga dimensi.

“Biasanya kerajinan manufaktur itu dibuat dari bahan plastik. Kali ini saya bikin dari serbuk kayu,” kata Zainuddin.

Baginya usaha ini tak perlu modal besar. Di kampungnya, Sidowarno, Wonosari, Klaten, stok serbuk kayu melimpah karena ada banyak perajin kayu. Di sana, nilai serbuk kayu tak lebih dari limbah yang dibuang begitu saja. “Gratis, enggak ada yang jual.”

Rencananya, Zainuddin memproduksi 50 set patung Punakawan, dijual di tempat-tempat wisata di Solo. Sasarannya adalah para turis yang dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. “Saya tidak menargetkan dapat modal dari workshop ini, yang jelas kami memang disuruh untuk bermimpi,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya