SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, KARANGANYAR — Lokasi strategis di tengah kota ternyata tak menjamin sekolah mendapatkan siswa baru dengan mudah. Hal itu dialami SDN 04 Karanganyar yang berada di Kecamatan Karanganyar.

Kepala SDN 04 Karanganyar, Budi Sulistyo, membenarkan kondisi itu. Tahun ajaran 2019/2020, SDN 04 Karanganyar hanya mendapatkan tujuh siswa baru kelas I. Jumlah itu cukup banyak apabila dibandingkan tahun ajaran 2017/2018 yang hanya tiga siswa.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Padahal sekolah itu hanya berjarak 1,5 kilometer (km) dari Kantor Bupati Karanganyar. Namun, setiap tahun ajaran sekolah itu kesulitan memenuhi kuota penerimaan siswa baru.

Data yang dihimpun Solopos.com, jumlah siswa yang diterima di SDN 04 Karanganyar selama lima tahun berturut-turut mulai 2015/2016 sebanyak 21 siswa, 2016/2017 sebanyak 10 siswa, 2017/2018 sebanyak tiga siswa, 2018/2019 sebanyak 11 siswa, dan 2019/2020 sebanyak tujuh siswa.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 17/2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat pada Pasal 24 menyebutkan jumlah peserta didik dalam satu rombongan belajar diatur untuk SD dalam satu kelas berjumlah paling sedikit 20 peserta didik dan paling banyak 28 peserta didik.

Budi menduga SD di Lingkungan Cerbonan, Kecamatan Karanganyar, itu kekurangan siswa karena dikepung SD negeri yang menerima siswa melebihi kuota yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, status SDN 04 Karanganyar adalah sekolah inklusi.

Sekolah yang menggabungkan layanan pendidikan khusus dan regular dalam satu sistem persekolahan. SD inklusi sejak 2008 itu ditetapkan melalui SK kepala dinas dan SK Bupati Karanganyar pada 2018.

“Sejak menjadi sekolah inklusi dan melayani anak berkebutuhan khusus (ABK), masyarakat lari ke sekolah lain. Kondisi membaik setelah kami sosialisasi. Tetapi kami dikepung sekolah negeri dan swasta berdekatan. Mereka menerima siswa melebihi kuota yang ditetapkan satu rombel,” kata Budi saat berbincang dengan wartawan di ruang kerjanya, Selasa (16/7/2019).

Tujuh siswa baru yang diterima tahun ajaran ini bukan berasal dari zona I atau Kelurahan Karanganyar melainkan dari luar Kecamatan Karanganyar. Mereka dari Karangpandan, Jaten, Tasikmadu, dan sisanya dari Lingkungan Jengglong di Kelurahan Bejen dan Lingkungan Cangakan di Kelurahan Cangakan, Kecamatan Karanganyar.

Budi mengaku sudah menginformasikan kondisi itu kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Karanganyar.

“Saya kasih uang Rp150.000 kalau mau daftar ke sini. Saya dapat tujuh siswa. Tetapi tidak semua mendaftar ke sini karena uang. Ada yang mengembalikan uang itu karena diterima di sekolah lain. Tahun lalu saya beri seragam putih-merah yang mau daftar di sini. Tetapi ada yang mengundurkan diri setelah terima seragam. Ya itu cara menarik minat siswa,” tutur dia.

Uang Rp150.000 untuk masing-masing siswa yang mendaftar ke SDN 04 Karanganyar itu dari kantong kepala, guru, dan tenaga kependidikan SDN 04 Karanganyar. Kondisi sekolah inklusi itu semakin terpuruk karena sejumlah guru yang khusus mengajar ABK ditarik ke Provinsi Jawa Tengah karena kebijakan SLB negeri dan swasta dikelola Pemprov Jateng.

“Gurunya enggak ke sini lagi. Saya lapor ke pejabat terkait untuk diberikan guru inklusi, ke provinsi juga ketemu guru-guru SLB. Mereka oke tetapi biaya ditanggung sekolah. Pada akhirnya mereka enggak ada waktu dan butuh surat perintah. Yang menaungi guru SLB tidak mau mengeluarkan surat perintah. Ya sudah, kami jalan sendiri,” cerita dia.

Sejumlah guru kelas dikutsertakan bimbingan teknis (bintek) pendidikan inklusi. Harapannya guru kelas dapat belajar menangani anak inklusi. Total ada 32 ABK yang sekolah di SDN 04 Karanganyar hingga tahun ajaran 2018/2019.

Empat orang di antaranya mengalami emotional disorder atau psikososial. Tetapi, SDN 04 Karanganyar berhasil mengantarkan empat orang itu menjadi juara lomba pencak silat tingkat provinsi maupun nasional.

“Ada tunadaksa, tunagrahita, dan emotional disorder. Sekarang prinsipnya ibadah. Aduh, lara [saat menyampaikan perihal bantuan operasional sekolah]. Jumlah siswa kelas satu sampai enam pada tahun ajaran 2018/2019 itu 79 anak. [BOS] untuk operasional enggak cukup. Ya ora pripun-pripun, ditangani dengan baik. Ora papa. Kondisi seperti ini harus diterima,” tutur dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya