SOLOPOS.COM - Ilustrasi pemilihan umum. (freepik)

Solopos.com, SOLO—Pemilu adalah sarana melaksanakan kedaulatan rakyat secara luber, yaitu langsung, umum, bebas, dan rahasia. Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin terlaksananya pemilu yang jujur dan adil, berdasarkan Pancasila serta Undang Udang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pemilihan umum Indonesia kali pertama diselenggarakan pada 29 September 1955, di masa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilihan umum di Indonesia diadakan sebanyak 12 kali, yaitu pada 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara. Rakyat berhak memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Melalui pemilu, rakyat belajar berdemokrasi untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera, adil, dan makmur dengan mengedepankan keadilan, kejujuran, dan keterbukaan. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu Demos dan Kratos.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Demos bermakna rakyat atau khalayak, sementara Kratos bermakna pemerintahan. Pemilu di Indonesia terkenal sangat singkat karena waktu pemilihan hanya sehari. Sebaliknya, pemilu di berbagai negera berbeda.

Pemilu di Indonesia membutuhkan biaya sangat banyak untuk sekali kegiatan. Yang unik, karena aktifnya masyarakat, pemilu di Indonesia memerlukan jutaan pengawas maupun panitia.

Selain pengawas dan panitia, negara kita juga mengerahkan ribuan polisi dalam mengawal pelaksanaan pemilu supaya berjalan lancar, jujur, dan adil. Rumit dan mahalnya pemilu di Indonesia ini disebabkan setiap pemilih diharapkan dapat memilih dengan penuh tanggung jawab demi kemajuan demokrasi Indonesia.

Undang-undang No. 7/2017 khususnya Pasal 448 menyebutkan pemilu yang diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat, serta penghitungan cepat hasil pemilu.

Partisipasi masyarakat dalam pemilu, khususnya dalam memilih siapa yang akan menjadi pemimpin dan siapa yang akan menjadi wakil rakyat di parlemen, merupakan indikator keberhasilan demokrasi. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam keberhasilan pemilu.

Sosialisasi adalah bagian dari proses belajar tentang kebudayaan dalam hubunganya dengan sistim sosial. Sosialisasi merupakan sebuah proses sosial yang ingin menggambarkan proses interaksi antara individu dengan individu lain dalam suatu kegiatan keseharian.

Interaksi terjadi saat ada dua orang atau lebih saling berhubungan secara lisan atau langsung lewat dialog, ceramah, diskusi, dan sebagainya. Yang terpenting dalam sosialisasi adalah pesan yang disampaikan dapat dipahami masyarakat yang memiliki berbagai latar belakang.

Pemilu identik dengan dunia politik di Indonesia. Pemilu diharapkan bersih dari money politics, tapi pada praktiknya hal macam itu masih saja ada. Serangan fajar, istilah yang familier saat pemilu, merupakan money politics dalam rangka membeli suara. Praktik curang ini dilakukan satu atau beberapa orang untuk memenangkan calon yang bakal duduk di singgasana.

Serangan fajar umumnya menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah. Praktik ini kerap terjadi menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Caranya dengan membagikan uang menjelang hari pemungutan suara dengan tujuan masyarakat memilih kader dan partainya.

Gesekan antarpendukung istilahnya kader juga sering terjadi hingga tingkat paling bawah atau masyarakat. Mereka berlomba-lomba menyampaikan visi-misi calon mereka. Sayangnya mereka kurang paham cara sosialisasi yang baik, yang tidak saling menjatuhkan rival. Akibatnya muncul rasa saling mencurigai, bahkan mengabaikan hak-hak orang.

Sosialisasi yang salah kadang sampai memunculkan sikap mencurigai panitia pemilu. Aksi bullying juga kadang terjadi pada masyarakat pemilih. Bullying atau perundungan ini merupakan penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan seseorang maupun sekelompok orang.

Mereka tidak sadar bahwa dalam pemilu itu masyarakat diberi kebebasan untuk memilih wakil-wakil mereka. Tidak ada money politics, tidak ada intervensi, dan pemaksaan kehendak dari kader atau partai tertentu agar warga mememilih dan memenangkan mereka.

Saya juga merasakan kegaduhan, ancaman, intimidasi, dan berita hoaks saat pencoblosan akan berlangsung. Praktik mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan hingga hancur, pengucilan, juga pengabaian hak secara sengaja, sering terjadi.

Cyber bullying, kategori bullying yang sedang marak saat ini, saya dapati beberapa kali terjadi. Mereka dapat menyakiti orang lain lewat sarana media elektronik, semisal grup WA. Mereka bahkan mengintimidasi sesama pemilih partainya, namun yang berbeda visi maupun misi. Efeknya luar biasa, bahkan sampai tingkat keluarga. Perbedaan pilihan membuat permusuhan di antara mereka. Ibaratnya tema pemilu itu seperti arang yang makin dikipas-kipas makin cepat masaknya.

Padahal, berbeda pilihan bukan berarti kita bisa saling sikut dan menjatuhkan. Sebaliknya, perbedaan itulah warna demokrasi. Seperti pelangi, manusia seharusnya mampu menghargai perbedaan itu sebagai motivasi untuk menjadikan hidup lebih rukun dan damai walaupun berbeda pilihan.

Penulis adalah guru di SMKN Ngargoyoso

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya