SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Dengan nada spontan, tetapi tetap bergaya cukup sopan, seorang sosiolog ternama di Jakarta menjawab pertanyaan reporter sebuah televisi swasta malam itu. Ketika itu ketiga calon RI-1 baru saja usai berdialog ala teleconference ihwal pendidikan Indonesia ke depan, yang juga tayang di televisi itu.

Cukup seru memang, sekalipun perbincangan itu tidak diformat dalam kerangka debat, melainkan dialog dengan majelis rektor di seluruh Indonesia. Masing-masing, dalam hemat saya, tetap tampil dengan gaya dan pembawaannya yang ideosinkretik, yang khas.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Nah, dengan gaya ideosinkretik pula, sosiolog ternama itu berseloroh ketika dimintai komentar ihwal penampilan para penuju kursi RI-1. ‘SBY mesti lebih rileks, Mega (mesti) lebih mendalam, JK (mesti) lebih sistematis’, demikian kurang lebih respons spontan itu.

Bagi saya yang linguis ini, pernyataan di atas sesungguhnya harus dimaknai sebagi kesantunan. Kesantunan berbahasa memang, secara pragmatik, salah satunya dilakukan dengan menggunakan strategi ketidaktransparanan atau ketidakterusterangan.

Dalam masyarakat Jawa, seperti yang beberapa kali pernah saya tegaskan dalam kolom catatan ini, hal demikian itu dapat diistilahkan dengan ‘semon’. Masyarakat Jawa memang dekat sekali dengan cara-cara bertutur yang  tidak terus terang, atau ‘semu’.

Maka, ‘semon’ sesungguhnya adalah bentuk ‘semu’ plus sufiks ‘an’, sehingga menjadi ‘semuan’. Dari bentuk ‘semuan’ lalu terjadilah proses morfologis tertentu hingga menjadi ‘semon’. Proses itu sepertinya sejajar dengan bentuk ‘turu’ plus ‘an’ yang menjadi ‘turon’.

Atau, ‘awu’ plus ‘an’ yang menjadi ‘awon’ lalu lahir pula bentuk ‘pawon’. Nah, lalu dari ‘semon’ lalu dapat lahir bentuk ‘nyemoni’, yang artinya ‘menyampaikan suatu maksud, tetapi maksud itu dinyatakan secara semu’.

Orang yang mudah memahami ‘pasemon’ alias ‘pralambang’ atau ‘pralampita’, sesungguhnya adalah orang cendekia. Orang Jawa sering bilang, itu orang yang ‘waskita’.

Dalam konteks komunikasi, model tutur sapa demikian itu sering disebut, ‘high level communication’ alias ‘komunikasi tingkat tinggi’. Hanya orang cendekia yang dapat melaksanakan komunikasi tingkat tinggi.

Juga, hanya orang berbudi luhur yang benar-benar  ‘waskita’, yakni sosok yang dapat berkomunikasi dengan ‘semon-semon’ alias ‘pasemon’.

Sesungguhnya, seandainya sosiolog di atas tadi hendak terus terang berkomentar, alias ‘sok-emplong’ atau ‘cok-emplong’ atau ‘ngendiko kanthi kemloho’, tuturan di atas dapat diubah menjadi, ‘SBY tidak rileks’, ‘Mega tidak mendalam’, ‘JK tidak sistematis’.  Tentu dengan model ‘kemloho’ alias supertransparan itu, pihak-pihak tertentu bisa saja ‘kebakaran jenggot’ lantaran tersinggung ketransparansian.

Dalam masyarakat dan budaya Jawa, inilah sesungguhnya hakikat kultur ‘samudana’, tetapi samudana dalam pengertian yang positif sifatnya. Untuk sampai bisa piawai dengan tutur sapa model yang demikian itu, orang perlu belajar berbahasa supaya jadi ‘waskita’.

Akan tetapi, juga belajar berbahasa dalam pengertian sesungguhnya. Saya ingin mengatakan, bahwa belajar berbahasa itu  sesungguhnya dapat diibaratkan dengan orang makan ‘jengkol’. Kalau bukan ‘jengkol’, ya bisa pula ‘pete’, yang dalam bahasa Indonesia disebut ‘petai’. 

Kedua jenis buah yang lazim dipakai sebagai pelengkap masakan ini memiliki aroma  luar biasa pada organ manusia. Maksudnya, semua bagian tubuh kita akan terpengaruh oleh aroma ‘jengkol’  kalau kita memakannya.

Keringat orang akan berbau jengkol. Nafas orang akan berbau jengkol. Air kencing akan beraroma jengkol. Bahkan, kulit orang pun bisa berbau jengkol. Demikian kata kebanyakan orang Jawa!

Nah, begitulah sesungguhnya orang yang belajar berbahasa. Kalau orang belajar berbahasa Jawa, dampak-dampak kebahasajawaan itu harus muncul di mana-mana.  Dalam bergaul dengan sesamanya, aroma kebahasajawaan itu sepantasnya hadir.

Di bangku sekolah, bahasa Indonesia memang diberikan bertahun-tahun, bahkan hingga tataran perguruan tinggi, setiap program studi wajib mencantumkan mata kuliah bahasa Indonesia sebagai salah satu kompetensi mahasiswanya. Akan tetapi, kenapa sepertinya kita selalu gagal berbahasa Indonesia?

Pro-kontra bahasa Inggris diberikan di sekolah dasar sudah lama pula mencuat, tetapi semuanya tetap bergeming, semuanya bak diam saja, ‘the show must go on’. Tidak peduli apakah inklusi bahasa Inggris di sekolah mulai tataran paling dasar itu merugikan ataukah menguntungkan.

Sepertinya, tidak ada lagi ada orang yang masih bersedia peduli. Malahan mungkin, semuanya dibiarkan saja agar tidak disadari dan dipahami secara khusus, secara ‘mirunggan’. Pokoknya, ‘the show must go on’!, kata orang.

Namun, sekali lagi saya tergelitik mempertanyakan, bukankah belajar berbahasa—bahasa apa pun—sesungguhnya adalah ibarat orang makan ‘jengkol’ itu?  Seorang sosiolog Jawa terus menerapkan prinsip untuk bersantun-santun ria dengan berbahasa ‘semon’ Jawa.

Tujuannya, agar dia menjadi sosok Jawa yang makin ‘waskita’. Maka, tetap saja prinsip-prinsip ‘ber-jengkol’ seperti disebutkan di depan itu terus dilaksanakan. Nah, mestinya kita pun demikian dalam belajar berbahasa Indonesia. Juga dalam berbahasa Jawa, berbahasa Inggris, atau berbahasa dalam bahasa-bahasa asing lainnya.

Jadi, memang harus dimunculkan ‘jengkol kebahasajawaan’ jika orang belajar bahasa Jawa, ‘jengkol kebahasaindonesiaan’ jika orang belajar bahasa Indonesia, dan ‘jengkol kebahasaingggrisan’ ketika orang belajar bahasa Inggris. Tanpa kesadaran akan ‘jengkol-jengkol’ kebahasaan itu, niscaya belajar bahasa bakal menjadi beban belaka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya