SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Orang sering melupakan unsur efek dari sebuah pertemuan politik, khususnya terhadap diri partai itu sendiri. Hal ini karena tujuan lebih dominan sebagai agenda. Tujuan untuk mengerucutkan siapa cawapres Bu Mega menjadi tampak lebih dominan daripada efek yang mestinya diciptakan bahwa PDIP adalah partai besar, yang tidak terlalu risau dengan siapa cawapres yang akan mendampingi ketua umumnya nanti, karena dengan kebesaran yang dipunyainya yang akan terjadi adalah justru PDIP yang dilamar, bukan yang melamar.

Namun kunjungan ke Keraton Ngayogyakarta, mengundang Akbar Tanjung, Sutiyoso, bahkan Amien Rais untuk hadir dalam pertemuan di Solo malah mengabaikan satu kesempatan emas yang bisa dicapai untuk masa depan: mengorbitkan Puan Maharani. Mengapa saya katakan kesempatan emas?

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berpikir pada 2009 mestinya sudah dilakukan minimal setahun lalu, atau yang lebih baik empat-lima tahun yang lalu. Sedangkan tahun ini harus digunakan untuk memberi efek momentum untuk 2014, tahun pertarungan bagi anak muda yang sekarang sudah mulai merintis jalur politik: Puan Maharani, Yenny Wahid, Mumtaz Rais, atau Yudhoyono Jr. dan tokoh muda Golkar seperti Yuddy Chrisnandi.

Dengan fokus kepada Puan, PDIP akan mendapat efek ganda, yakni citra sebagai partai yang mengutamakan regenerasi dan partai yang memikirkan masa depan. Lebih jauh PDIP juga akan dikesankan siap untuk melakukan pertarungan jangka panjang dengan partai manapun. Karena itu mestinya isu siapa calon wapres tidak boleh menghalangi agenda yang harus disampaikan kepada publik sekaligus lawan politik, yaitu PDIP siap menciptakan tren politik tertentu.

Namun mengorbitkan Puan Maharani bukan satu hal yang mudah karena orang khawatir ada risiko bahwa Ibu Mega akan terkurangi pamornya. Masalahnya akan lain apabila pencitraan yang ada adalah seorang ibu yang mempersiapkan masa depan putrinya, mendampinginya sebagai pelindung sekaligus mentor politik. Dengan demikian PDIP harus berupaya mencitrakan Ibu Mega sebagai sosok ideal, ibu yang berkorban bagi keberhasilan putrinya.

Dengan citra seperti ini pamor si ibu justru akan meningkat. Apakah tidak terlalu dini mengorbitkan Puan Maharani? Justru di sinilah letak seninya. Ketika yang lain masih asyik pada agenda 2009, sibuk menangkis-nangkis kritikan, kesulitan mencari kata ganti “keroyokan”, merasa harus membalas “permainan yoyo”, lalu gantian menggunakan retorika “do something dengan do nothing”, PDIP ternyata sudah melompat dengan rencana 2014.

Tetapi tak apalah kalau sekarang membicarakan siapa cawapres untuk PDIP. Kalau Sri Sultan HB X jelas agak repot mengingat beliau mencalonkan diri sebagai presiden. Kalau beliau menerima pinangan PDIP sebagai cawapres, akan ada penurunan citra yang sangat drastis. Apalagi di Jawa masih kuat semboyan sabda pandhita ratu.

Jadi, kalau kemudian Sri Sultan harus berubah pernyataan, efeknya akan sangat dahsyat bagi pribadi Sultan sebagai pandhita ratu. Kebijakan konvensional di Indonesia ini adalah, sebuah pasangan akan berhasil apabila mengkombinasikan salah satu unsur Jawa-luar Jawa, sipil-militer, atau nasionalis-agamis.

Kombinasi pertama mungkin akan ke Akbar Tanjung yang luar Jawa. Hanya saja, kalau ada tokoh dari Indonesia Timur, mungkin secara nilai akan lebih tinggi mengingat potensi modal yang bisa diakumulasikan.

Kombinasi berikutnya mungkin diwakili Sutiyoso yang militer. Hanya saja masih ada beberapa calon lain di luar Bang Yos yang juga potensial. Apalagi kalau militer tersebut punya pengalaman bisnis, entah komisaris BUMN, atau keluarga pebisnis sehingga modal cukup kuat.

Nama seperti Prabowo, atau Sutanto, atau nama lain yang pernah menjabat panglima layak menjadi perhatian Pak Taufik Kiemas dan Mas Pramono Anung. Nah, kombinasi ketiga, mungkin dianggap agak absurd, adalah menggandeng kelompok agamis. Tetapi sekali lagi, politik adalah the art of the possibles alias seni tentang kemungkinan.

Tidak perlu ada yang tabu bagi PDIP. Kalau kemarin kombinasi ini menggandeng tokoh NU dan belum berhasil, mungkin melamar Din Syamsuddin, yang notabene juga tokoh dari Indonesia Timur layak lirik. Kalau ingin kombinasi ketiga ini semakin spektakuler, perlu melamar partai Islam yang jumlah suaranya cukup signifikan. Ingat, dalam politik hanya kepentingan yang abadi.

Oleh Harwanto Dahlan MSi

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya