Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sesuatu Yang absolut, Yang Mutlak, menurut theologi Buddhis, semenjak semesta raya ini berproses tidak terlibat langsung terhadap fenomena-fenomena yang terjadi baik terhadap alam maupun mahluk-mahluk diatasnya.
Melainkan hukum sebab akibat (paticcasamuppadda) yang bekerja sebagai bukti dari kekuatan adanya Yang mutlak, dan absolut di atas.
Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler
Dari Paticcasamuppadda kemudian dijabarkan dalam lima hukum tertib kosmis yang mengatur segala sesuatu didunia ini menjadi sedemikian adanya. Lima hukum tertib kosmis tersebut meliputi:
1. Bija niyama (kesatuan kausal organik)
2. Utu niyama (kesatuan kausal anorganik)
3. Kamma niyama (kesatuan kausal 0keteraturan moral)
4. Citta niyama ( kesatuan kausal psycologys)
5. Dhamma niyama (kesatuan kausal spiritual ideal)
Karena segala sesuatu yang dumadi adalah sebagai hasil dari hubungan sebab- musabab, maka cenderung bersifat:
1. Anicca ( selalu berubah / tidak abadi)
2. dukkha (tidak memuaskan)
3. An-atta ( segala sesuatu yang dumadi tidak memiliki inti yang abadi)
Berpijak pada hukum keteraturan tersebut maka segala yang terjadi pada alam, manusia dan mahluk lainya bukan semata-mata kehendak dari kekuatan yang Adi kodrati. melainkan adanya hubungan kausal dari saling keterkaitan, saling mempengaruhi, dan saling kebergantungan antara manusia beserta mahluk lannya dengan alam.
Melalui kurun waktu yang panjang (evolusi) maupun dalam kurun waktu yang relatih pendek (revolusi), perubahan yang terjadi saling mempengaruhi dan dipengaruhi.
Alam semesta dalam proses perubahannya mulai dari yang sekala besar maupun sekala kecil menurut Buddhisme bahwa semua itu terjadi mengikuti keteraturan sesuai dengan hukum tertib kosmis, di mana alam akan selalu menuju paada kondisi- kondisi ideal atau seimbang. Bila terjadi instabilitas atau terganggu keseimbangannya maka akan terjadi perubahan-perubahan yang bersifat revolusioner.Terganggunya keseimbangan alam tersebut banyak disebabkan oleh ketidak-tahuan manusia tentang siapakah alam ini dan bagaimanakah alam ini harus diperlakukannya.
Bila terjadi perubahan yang bersifat revolusioner, inilah biasanya dinamakan bencana alam, atau bencana bagi manusia yang sering kali banyak membawa korban baik harta benda maupun korban manusia dan hewan, seperti halnya erupsi gunung Merapi dan lain sebagainya.
Erupsi gunung merapi yang memang selalu terjadi baik dalam sekala besar maupun kecil, dan secara temporal dapat dipelajari periodisasinya sepertti per empat tahunan, tigapuluh tahuan, seratus tahunan dan sebagainya.
Ketika erupsi gunung merapi berlangsung kemudian kemudian menjadi menjadi bencana bagi kehidupan disekitarnya, sekiranya bukan berarti bahwa gunung merapi memiliki kehendak untuk merusak dan menghancurkan kehidupan disekitarnya.
Melainkan semata-mata adalah proses alam dimana ia punya cara atau hukum keteraturanya sendiri yang tidak selalu dan seluruhnya dapat dimengerti maupun dideteksi sekalipun menggunakan teknologi yang canggih, serta tidak selalu seirama dengan kemauan manusia.
Mengapa mesti harus ada korban? inilah bagian dari kebodohan sistemik yang masih meliputi kehidupan umat manusia.
Terbukti banyak diantara mereka yang sengaja bermukim di daerah-daerah yang secara geografis jelas rawan bencana dan membahayakan keselamatan dirinya, disamping itu juga sengaja mengabaikan peringatan-peringatan, anjuran maupun himbauan baik sebagai kebijakkan pemerintah maupun kesadarannya sebagai umat beriman. Lantas bagaimanakah manusia harus menempatkan dirinya ditengah-tengah alam yang setiap saat bergejolak?
Buddha menunjukkan jalan kehidupan menuju kebahagiaan ideal yang menekankan pada pada disiplin moral (sila), disiplim mental (samadhi) serta kearifan/kebijaksanaan (panna).
1. Disiplin moral menekankan pada pentingnya harmoni antara diri dengan sesama dan alamnya.
2. Disiplin mental menekankan pada keseimbangan mental seperti leburnya kegelapan, kebencian, dan keserakahan.
3. Kearifan sebagai sikap hidup yang ideal dimana tidak terjadi dis harmoni antara diri dengan sesama, maupun dengan lingkungan alam sekitarnya.
Sikap bersahabat antara manusia dengan alam Buddha mengandaikan “Laksana seekor lebah yang datang mengisap madunya tanpa meerusak bentuk maupun warna dari bunga itu tetapi malah membantu perbukan pada tanaman tersebut” (Dhammapada 49).
Sikap bersahabat antar manusia dengan sesama Buddha memberi petunjuk “ Jangan karena benci dan ketidak sukaan mengharapkan orang lain celaka, cintailah sesama mahluk bagaikan seorang ibu yang menyayangi putra tunggalnya ia rela walau harus mengorbankan dirinya” ( karaneyametta-sutta 6-7).
Kesimpulan
Mengingat bahwa segala yang dumadi tidak terlepas dari hukum tertip kosmis, yang merupakan sebab musabab yang saling bergantungan, maka sikap yang wajib dikembangkan adalah sikap bersahabat, bukan untuk menahlukkan dan mengusai. Namun karena sifat dari segala yang dumadi ini bercorak tidak abadi, tidak memuaskan dan tidak memiliki inti yang abadi, sebagai konskuensinya kita harus mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin untuk menghadapi segala kemungkinan. Sebelum kita membutuhkan pertolongan orang lain atau harus ditolong sedapat mungkin kita berusaha untuk membantu meringankan saudara-saudara kita yang terkena musibah dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, cinta kasih dan kasih sayang. Dan yang terpenting Dunia ini sudah sangat rawan dengan bencana alam yang sewaktu-waktu menjadi musibah bagi kita, maka jangan jadikan hidup kita sebagai penyebab bencana oleh karena kebodohan, kebencian dan keserakahan.