SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ucapan selamat dan jabat tangan selalu disampaikan kepada para ibu setiap 22 Desember. Tidak berarti menghormati kaum ibu hanya setiap tanggal tersebut, sekurang-kurangnya ada waktu secara khusus yang ‘ditahtakan’ untuk bersama-sama menyadari peran sosok ibu yang tak terukur. Mampu menghargai ibunya, pun mampu menghormati perempuan tidak terjadi dengan sendirinya pada anak-anak kita. Agar mampu bertindak dan berpikir untuk hal itu perlu dibiasakan baik di sekolah maupun di rumah.

Ini pengalaman membiasakan murid laki-laki untuk menghargai perempuan. Bermula dari tindakan bersuit-suit dengan siulan sebagian murid jika ada tetamu perempuan melintas di luar kelas, bahkan terkadang menimbulkan keriuhan seluruh kelas. Dengan segala kemudaannya, saya memahami yang mereka lakukan mungkin sekadar iseng, tetapi bagi pihak lain sangat mungkin menimbulkan persepsi sebagai ‘pelecehan’. Tentu situasi demikian tak boleh berlarut-larut terjadi. Kalimat sederhana untuk mereka, “jika yang diperlakukan begitu adalah ibumu atau saudara perempuanmu, dan anda rela, maka silakan lakukan juga pada orang lain.”

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Situasi tersebut tidak cukup hanya sekali dilakukan dan dikatakan kepada murid. Pembiasaan tentu berulang-ulang. Tidak jarang guru mengatakan “saya sudah pernah menegurnya, sudah pernah mengatakannya, atau saya pernah memarahinya.” Dalam hal mendidik, mestinya guru menyingkirkan kata ‘sudah’ atau ‘pernah’, artinya terus berlangsung tak henti-hentinya. Sampai kapan? Selama murid masih selalu di depan matanya. Kejadian bersuit-suit atau bersorak-sorai berjumpa perempuan seperti di atas sangat mungkin berulang. Memahamkan dan mengingatkan pun harus berulang. Kalimat-kalimat yang bersifat reflektif tidak cukup sekali disampaikan, pun mesti diterangkan.

Ekspedisi Mudik 2024

Ada pengalaman lain dari seorang konselor demi membuka hati murid yang sulit menghargai ibunya. Sang murid dikirimnya untuk menjalani live-in bekerja seharian di kebun sekitar ruang bersalin sebuah rumah sakit. Reaksi fisik yang keringatan sebelum tengah hari dialami murid tersebut hanya karena beberapa kali mendengar sayup-sayup suara para ibu yang berjuang melahirkan. Sampailah pada refleksinya yang menyebut bahwa ia bisa membayangkan perjuangan sang ibu tatkala melahirkannya, dan bertutur sembari menitikkan air mata. Situasi konkret yang dekat dengan pengalamannya akan membantu anak-anak kita untuk membuka hati.

Mengajarkan nilai-nilai penghargaan kepada ibu tidak hanya untuk sekolah yang muridnya laki-laki. Kecenderungan umum anak-anak kita di sekolah manapun, baik yang homogen maupun heterogen, terbawa arus umum masyarakat yang abai penghargaan kepada perempuan. Gojegan alias humor yang seksis tanpa didasari merendahkan perempuan sebagai bahan olok-olok. Tengok pula lakon sinetron yang meributkan pernikahan anak laki-laki dengan janda atau mengolok-olok istri yang tak kunjung mempunyai anak. Hal itu berarti perempuan hanya dihargai karena statusnya atau melahirkan anak, bukan sebagai pribadi seutuhnya.

Murid-murid perempuan pun perlu belajar terus-menerus menghargai dirinya sendiri. Sebagai guru, saya sepakat bahwa perempuan dan laki-laki memang berbeda tetapi tidak untuk dibeda-bedakan. Di sana ada pemaknaan yang setara saling menghormati, meskipun kepada laki-laki lebih dituntut lebih mampu menghormati perempuan. Kembali kepada refleksi anak-anak kita, jika terjadi pengalaman tidak adanya penghargaan kepada perempuan, maka kalimat bernas yang bisa direfleksikan bersama “bukankah ibu kita seorang perempuan?”, dan penghormatan pun telah menjadi keutamaan dalam hidup bersama. ***.

St. Kartono

Guru SMA De Britto, Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya