SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Tempo hari di awal tahun baru, putri kecil saya memilih-milih koleksi buku di rumah. Dia mengambil beberapa eksemplar yang baru dan masih tersegel plastik, katanya “Aku akan berikan ini untuk guruku, dia butuh dibantu bacaan”. Ternyata,  beberapa hari sebelumnya di kelas, dalam pembelajaran interaktif, sang guru tidak mau menerima pendapatnya. Padahal, sebagai murid justru telah membaca beberapa buku sebelum berlangsung diskusi di kelas, pun teman sekelas mendukung  pendapatnya setelah browsing lewat i-phone.

Hal yang menarik dari pengalaman itu adalah lewat cara berpikir yang sederhana, seorang anak dapat mengetahui penyebab seorang guru sulit menerima pendapat muridnya. Jika guru terbatas pengetahuannya dan kurang pengayaan diri lewat bacaan, maka pertahanan dirinya pasti menolak pendapat murid. Model guru yang biasa menolak pendapat murid masih menganggap sumber pengetahuan adalah guru, pusat belajar di kelas adalah guru, dan guru menjadi yang paling benar. Akibatnya, murid tidak cukup terbantu untuk berani menemukan pengetahuannya sendiri, tetapi juga diam-diam guru menjadi bahan pergunjingan muridnya hanya karena tertinggal oleh informasi mutakhir.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Beruntunglah guru yang mempunyai murid yang berpikir solutif. Meskipun dengan setengah menggerutu ketika pendapatnya ditolak di kelas, toh si murid berupaya membantu keterbatasan gurunya. Tentu saja murid berharap, moga-moga sang guru mau mendengarkan orang lain lewat buku. Richard St.John lewat bukunya 8 To Be Great (2011) menyebut salah santu kunci sukses adalah bersedia mendengarkan orang yang layani. Bukankah guru hakikatnya melayani murid? Bukankah pada tempatnya jika guru mau mendengarkan muridnya? Memang secara berkelakar terucap bahwa guru diciptakan untuk berbicara bukan mendengarkan.

Untuk konteks guru, Richard mengingatkan bahwa jika guru ingin melayani dengan lebih baik, bukalah telinga dan dengarkan murid-murid yang dilayani. Mulut mampu menyuarakan sesuatu, sehingga orang berpikir bahwa mulut sangatlah penting, tetapi penting juga bahwa lebih baik mempunyai dua telinga yang besar daripada satu mulut besar. Membiasakan diri menggeluti bacaan mutakhir kiranya menjadi bentuk memperbaiki pelayanan guru untuk murid. Bacaan bisa datang dari manapun, tidak harus memiliki sendiri. Perpustakaan dan toko buku sangat berbaik hati menyediakan bacaan tanpa harus membelinya. Jadi, kuncinya adalah kemauan membuka diri dan mengembangkan diri dengan mendengarkan apapun serta siapapun di sekitar kita.

Kemauan guru membuka diri juga termasuk mengenai pilihan-pilihan pendekatan dalam pembelajaran di kelas. Murid-murid akan kian antusias jika pembelajaran tidak jauh dari dunianya kini. Dunia buku dan teknologi tidaklah asing bagi anak-anak di zaman kini. Paul Suparno mengingatkan bahwa kaum konstruktivis di bidang pendidikan menyebut kegiatan belajar sebagai kegiatan siswa yang aktif membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari sendiri makna yang mereka pelajari. Siswa sendiri yang menyusun penalaran atas pengalaman yang telah dipelajarinya, membandingkannya dengan yang telah diketahui. Guru hanyalah membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan sehingga belajar dapat terjadi melalui refleksi. Guru harus menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung proses belajar siswa. Untuk itu, hanya guru yang belajar terus-menerus dan membuka diri dengan bacaan-bacaan mutakhir yang mampu mengikuti arus zaman muridnya. ***

Oleh: St. Kartono

Guru SMA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya